Sunday, June 10, 2012

Forex dalam Islam


Oleh Muhammad Yasir Yusuf 


BISNIS Forex (foreign exchange) atau lebih dikenal dengan valuta asing (valas), di Aceh, saat ini sedang menarik sebagian besar orang untuk menggelutinya, karena bisnis ini bisa membuat orang “kaya” mendadak. Akan tetapi jika tidak pandai dalam menjalankan bisnis ini, maka seseorang akan miskin seketika. Dalam beberapa pengajian, saya kerap ditanyakan tentang kedudukan hukum forex dari perspektif hukum Islam. Tulisan berikut, mungkin, dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Bisnis forex trading (perdagangan valas) dapat dikategorikan masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya bersifat ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah, masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih (masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti). Dibutuhkan usaha untuk melihat dengan cermat pola dan mekanisme forex sehingga ia bisa diklasifikasikan ke dalam bisnis yang dibolehkan ataupun tidak menurut Islam.   

Allah SWT menurunkan syariat Islam menjadi tuntunan hidup yang senantiasa mengakomodir kebutuhan umat manusia sesuai dengan kekinian dan kedisinian. Alquran dan hadis hanya memberikan prinsip-prinsip dan norma bisnis bersifat umum yang tidak boleh dilanggar. Prinsip umum dalam jual beli valas disetarakan dengan jual beli emas (dinar) dan perak (dirham) sebagaimana yang berlaku pada masa Rasulullah. Jual beli mata uang haruslah dilakukan dengan tunai/kontan (naqdan) agar terhindar dari transaksi ribawi (riba fadhl).  

Hal ini sebagaimana dijelaskan hadis Rasulullah mengenai jual beli enam komoditi barang yang dikategorikan berpotensi ribawi. Sabda Rasulullah saw: “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, barli dengan barli, sya’ir dengan sya’ir (jenis gandum), kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, dalam hal sejenis dan sama haruslah secara kontan (yadan biyadin/naqdan). Maka apabila berbeda jenisnya, juallah sekehendak kalian dengan syarat secara kontan.” (HR. Muslim).

 Perdagangan valas
Berdasarkan hadis di atas maka Ibnu Mundhir dalam kitab al-Ijma’, halaman 58-59 menganalogikan perdagangan valas sama dengan pertukaran antara emas dan perak atau dikenal dalam terminologi fiqih dengan istilah sharf (money changer) yang disepakati para ulama tentang keabsahannya. Maknanya emas dan perak sebagai mata uang tidak boleh ditukarkan dengan sejenisnya, misalnya Rupiah kepada Rupiah (IDR) atau US Dolar (USD) kepada Dolar, kecuali sama jumlahnya (contohnya; pecahan kecil ditukarkan pecahan besar asalkan jumlah nominalnya sama). Hal itu karena dapat menimbulkan riba fadhl seperti yang dimaksud dalam larangan hadis di atas. 

Namun bila berbeda jenisnya, seperti Rupiah ke Dolar atau sebaliknya maka dapat ditukarkan (exchange) sesuai dengan market rate (harga pasar) dengan catatan harus kontan/on spot (taqabudh fi’li) atau yang dikategorikan (taqabudh hukmi) menurut kelaziman pasar. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni. Kriteria tunai atau kontan dalam jual beli dikembalikan kepada kelaziman pasar yang berlaku, meskipun hal itu melewati beberapa jam penyelesaian (settelment)-nya karena proses teknis transaksi. Harga atas pertukaran itu dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli atas dasar market rate. Ini untuk persoalan pertama tentang jual beli (tukar menukar) mata uang yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.

Kedua, mengenai perdagangan pada pasar berjangka yang melibatkan jual beli barang dengan menggunakan uang yang berbeda antar negera. Perdagangan di pasar berjangka ini tidak akan dikatakan mengandung unsur penipuan selama komoditi yang diperjual-belikan itu wujud secara fisik dan mampu diserahkan apabila dikehendaki. Seperti membeli barang impor dengan mata uang asing dan barang tersebut diserahkan di kemudian hari sesuai dengan perjanjian. Hal ini dibolehkan selama kesepakatan jual beli dengan harga yang sudah pasti, sehingga walaupun harga tukar mata uang naik, maka harga yang dipegang adalah harga yang telah disepakati tersebut. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: “Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. Muslim)”. 

Ketiga, jual beli mata uang dengan menggunakan uang sebagai komoditi yang diperdagangkan yaitu dengan mencari keuntungan dari selisih naik turunnya satu nilai mata uang satu negara terhadap negara lainnya. Pertama, jual beli mata uang ini bisa dikatagorikan ke dalam gambling (judi) karena jual beli mata uang ini bersifat spekulasi. Artinya jika kita sedang beruntung maka kita akan untung, sebaliknya jika tidak maka akan rugi; Kedua, sebagian besar pemikir ekonomi Islam seperti Umar Chapra, Taqiuddin al Nabhani, Monzer Khaf, Mannan dan lainnya mengatakan bahwa uang adalah alat tukar, bukan komoditi yang bisa diperdagangkan. Apabila uang menjadi komoditi yang diperdagangkan maka pertumbuhan ekonomi satu Negara akan hancur. Sehingga mereka melarang praktek jual beli mata uang seperti ini. 

Dalam kaitan pembahasan di atas, fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Kegiatan Transaksi Jual-Beli Valas pada prinsipnya dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut: Pertama, tidak untuk spekulasi (untung-untungan); Kedua, ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan); Ketiga, apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh), dan; Keempat, apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

 Jenis transaksi valas
Adapun ketentuan mengenai hukum jenis-jenis transaksi valas, dijelaskan dalam fatwa tersebut sebagai berikut: Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.

Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari. Padahal, harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).

Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valas pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir. 

* Muhammad Yasir Yusuf, Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Jurusan Ekonomi Islam. Email: m.yasiryusuf@gmail.com

Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2012/06/08/forex-dalam-islam