Ilmu Administrasi Negara lahir sejak Woodrow Wilson (1887), yang kemudian
menjadi presiden Amerika Serikat pada 1913-1921, menulis sebuah artikel yang
berjudul “The Study of Administration” yang dimuat di jurnal Political Science
Quarterly. Kemunculan artikel itu sendiri tidak lepas dari kegelisahan Wilson muda
akan perlunya perubahan terhadap praktik tata pemerintahan yang terjadi di
Amerika Serikat pada waktu itu yang ditandai dengan meluasnya praktik spoil
system (sistem perkoncoan) yang menjurus pada terjadinya inefektivitas dan
inefisiensi dalam pengelolaan negara. Studi Ilmu Politik yang berkembang pada
saat itu ternyata tidak mampu memecahkan persoalan tersebut karena memang
fokus kajian Ilmu Politik bukan pada bagaimana mengelola pemerintahan dengan
efektif dan efisien, melainkan lebih pada urusan tentang sebuah konstitusi dan
bagaimana keputusan-keputusan politik dirumuskan. Dalam tulisannya tersebut
Wilson (1887: 1) mengatakan:
―No one wrote systematically of administration as a branch of the science of
government until the present century had passed it first youth and had begun
to put forth its characteristic flower of systematic knowledge. Up to our own
day all the political writers whom we now read and though, argued,
dogmatized, only about the constitution of governments; about nature of the
state, the essence and seat of sovereignty, popular power and kingly
prerogative…The central field of controversy was that great field of theory in
which monarchy rode tilt against democracy, in which oligarchy would have
built for itself strongholds of privilege, and in which tyranny sought opportunity
to make good its claim to receive submission from all competitors. The
question, how law should be administered with enlightenment, with equity, with
speed, and without friction, was put aside as a practical detail which clerks
could arrange after doctor had agreed upon principles‖.
Menurut Wilson, Ilmuwan Politik lupa bahwa kenyataannya lebih sulit
mengimplementasikan konstitusi dengan baik dibanding dengan merumuskan
konstitusi itu sendiri. Sayangnya ilmu yang diperlukan untuk itu belum ada. Oleh
karena itu, untuk dapat mengimplementasikan konstitusi dengan baik maka
diperlukan suatu ilmu yang kemudian disebut Wilson sebagai Ilmu Administrasi
tersebut. Ilmu yang oleh Wilson disebut ilmu administrasi tersebut menekankan
dua hal, yaitu perlunya efisiensi dalam mengelola pemerintahan dan perlunya
menerapkan merit system dengan memisahkan urusan politik dari urusan
pelayanan publik. Agar pemerintahan dapat dikelola secara efektif dan efisien,
Wilson juga menganjurkan diadopsinya prinsip-prinsip yang diterapkan oleh
organisasi bisnis ―the field of administration is the field of business‖.
Penjelasan ilmiah terhadap gagasan Wilson tersebut kemudian dilakukan
oleh Frank J. Goodnow yang menulis buku yang berjudul: ―Politics and
Administration‖ pada 1900. Buku Goodnow tersebut seringkali dirujuk oleh para
ilmuwan administrasi negara sebagai „proklamasi‟ secara resmi terhadap lahirnya
Ilmu Administrasi Negara yang memisahkan diri dari induknya, yaitu Ilmu Politik.
Era ini juga sering disebut sebagai era paradigma dikotomi politik-administrasi.
Melalui paradigma ini, Ilmu Administrasi Negara mencoba mendefinisikan
eksistensinya yang berbeda dengan Ilmu Politik dengan ontologi, epistimologi dan
aksiologi yang berbeda. Beberapa tahun kemudian, sebuah buku yang secara
sistematis menjelaskan apa sebenarnya Ilmu Administrasi Negara lahir dengan
dipublikasikannya buku Leonard D. White yang berjudul ―Introduction to the Study
of Public Administration‖pada 1926. Buku White yang mencoba merumuskan
sosok Ilmu Administrasi tersebut pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh berbagai
karya ilmuwan sebelumnya yang mencoba menyampaikan gagasan tentang
bagaimana suatu organisasi seharusnya dikelola secara efektif dan efisien, seperti
Frederick Taylor (1912) dengan karyanya yang berjudul ―Scientific Management‖,
Henry Fayol (1916) dengan pemikirannya yang dituangkan dalam monograf yang
berjudul ―General and Industrial Management‖, W.F. Willoughby (1918) dengan
karyanya yang berjudul ―The Movement for Budgetary Reform in the State‖,dan
Max Weber (1946) dengan tulisanya yang berjudul ―Bureaucracy‖.
Era berikutnya merupakan periode di mana para ilmuwan administrasi
negara berusaha membangun body of knowledge ilmu ini dengan terbitnya
berbagai artikel dan buku yang mencoba menggali apa yang mereka sebut
sebagai prinsip-pinsip administrasi yang universal. Tonggak utama dari era ini
tentu saja adalah munculnya artikel L. Gulick (1937) yang berjudul ―Notes on the
Theory of Organization‖di mana dia merumuskan akronim yang terkenal dengan
sebutan POSDCORDB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Co-ordinating,
Reporting dan Budgeting). Tidak dapat dipungkiri, upaya para ahli administrasi
negara untuk mengembangkan body of knowledge ilmu administrasi negara
sangat dipengaruhi oleh ilmu manajemen. Prinsip-prinsip administrasi
sebagaimana dijelaskan oleh para ilmuwan tersebut pada dasarnya merupakan
prinsip-prinsip administrasi yang diadopsi dari administrasi bisnis yang menurut
mereka dapat juga diterapkan di organisasi pemerintah.
Perkembangan pergulatan pemikiran ilmuwan administrasi negara diwarnai
sebuah era pencarian jati diri Ilmu Administrasi Negara yang tidak pernah selesai.
Kegamangan para ilmuwan administrasi negara dalam meninggalkan induknya,
yaitu Ilmu Politik, untuk membangun eksistensinya secara mandiri bermula dari
kegagalan mereka dalam merumuskan apa yang mereka sebut sebagai prinsip-
prinsip administrasi sebagai pilar pokok Ilmu Administrasi Negara. Keruntuhan
gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi ditandai dengan terbitnya tulisan Paul
Applebey (1945) yang berjudul ―Government is Different‖.Dalam tulisannya
tersebut Applebey berargumen bahwa institusi pemerintah memiliki karakteristik
yang berbeda dengan institusi swasta sehingga prinsip-prinsip administrasi yang
diadopsi dari manajemen swasta tidak serta merta dapat diadopsi dalam institusi
pemerintah. Karya Herbert Simon (1946) yang berjudul ―The Proverbs of
Administration‖semakin memojokkan gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi
yang terbukti lemah dan banyak aksiomanya yang keliru. Kenyataan yang
demikian membuat Ilmu Administrasi Negara mengalami „krisis identitas‟ dan
mencoba menginduk kembali ke Ilmu Politik.
Namun demikian, hal ini tidak berlangsung lama ketika ilmuwan
administrasi negara mencoba menemukan kembali fokus dan lokus studi ini.
Kesadaran bahwa lingkungan pemerintahan dan bisnis cenderung
mengembangkan nilai, tradisi dan kompleksitas yang berbeda mendorong
perlunya merumuskan definisi yang jelas tentang prinsip-prinsip administrasi yang
gagal dikembangkan oleh para ilmuwan terdahulu. Dwiyanto (2007) menjelaskan
bahwa lembaga pemerintah mengembangkan nilai-nilai dan praktik yang berbeda
dengan yang berkembang di swasta (pasar) dan organisasi sukarela. Mekanisme
pasar bekerja karena dorongan untuk mencari profit, sementara lembaga
pemerintah bekerja untuk mengatur, melayani dan melindungi kepentingan publik.
Karena karakteristik antara birokrasi pemerintah dan organisasi swasta sangat
berbeda, maka para ilmuwan dan praktisi administrasi negara menyadari
pentingnya mengembangkan teori dan pendekatan yang berbeda dengan yang
dikembangkan oleh para ilmuwan yang mengembangkan teori-teori administrasi
bisnis. Dengan kesadaran baru tersebut maka identitas Ilmu Administrasi Negara
menjadi semakin jelas, yaitu ilmuwan administrasi negara lebih menempatkan
proses administrasi sebagai pusat perhatian (fokus) dan lembaga pemerintah
sebagai tempat praktik (lokus).
Pada titik ini dapat disimpulkan bahwa kelahiran Ilmu Administrasi Negara
sangat dipengaruhi oleh dua cabang ilmu, yaitu Ilmu Politik dan Ilmu Manajemen.
Kesadaran bahwa Ilmu Administrasi Negara tidak dapat terlepas dari Ilmu Politik,
karena proses administrasi pemerintahan tidak terlepas dari proses politik, dan
realitas bahwa prinsip-prinsip administrasi tidak dapat diterapkan secara general
pada organisasi pemerintah dan swasta sekaligus semakin mengukuhkan
pemahaman bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Administrasi Negara adalah ilmu
tentang bagaimana proses administrasi pemerintahan dikelola secara baik dengan
menggunakan prinsip-prinsip manajemen yang sesuai dengan tujuan
pembentukan organisasi pemerintah, yaitu untuk mengatur, melayani dan
melindungi kepentingan publik. Dengan pencapaian tersebut, Dwiyanto (2007:
109) menyebut bahwa Ilmu Administrasi Negara tumbuh menjadi sebuah ilmu
yang semakin dewasa dan mampu menyejajarkan dirinya dengan induknya, yaitu
Ilmu Politik dan Ilmu Manajemen.
Dari Administrasi Negara Menjadi Administrasi Publik
Sejarah tentang perubahan Ilmu Administrasi Negara masih terus berulang.
Upaya mendefinisikan diri Ilmu Administrasi Negara sebagai ilmu administrasi
pemerintahan sebagaimana dijelaskan di muka ternyata tidak berlangsung lama.
Dinamika lingkungan administrasi negara yang sangat tinggi kemudian
menimbulkan banyak pertanyaan tentang relevansi keberadaan Ilmu Administrasi
Negara sebagai administrasi pemerintahan. Gugatan tersebut terutama ditujukan
pada lokus Ilmu Administrasi Negara yang dirasa tidak memadai lagi. Menurut
Dwiyanto (2007) lembaga pemerintah dirasa terlalu sempit untuk menjadi lokus
Ilmu Administrasi Negara. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa lembaga
pemerintahan tidak lagi memonopoli peran yang selama ini secara tradisional
menjadi otoritas pemerintah. Saat ini semakin mudah ditemui berbagai lembaga
non-pemerintah yang menjalankan misi dan fungsi yang dulu menjadi monopoli
pemerintah saja. Di sisi yang lain, organisasi birokrasi juga tidak semata-mata
memproduksi barang dan jasa publik, tetapi juga barang dan jasa privat. Pratikno
(2007) juga memberikan konstatasi yang sama. Saat ini negara banyak
menghadapi pesaing-pesaing baru yang siap menjalankan fungsi negara,
terutama pelayanan publik, secara lebih efektif. Selain pelayanan publik, dalam
bidang pembangunan ekonomi dan sosial, negara juga harus menegosiasikan
kepentingannya dengan aktor-aktor yang lain, yaitu pelaku bisnis dan kalangan
civil society. Secara lebih tegas, Thoha (2007) bahkan mengatakan telah terjadi
perubahan paradigma: “[…] dari orientasi manajemen pemerintahan yang serba
negara menjadi berorientasi ke pasar (market)‖. Menurut Thoha, pasar di sini
secara politik bisa dimaknai sebagai rakyat atau masyarakat (public). Fenomena
menurunnya peran negara ini merupakan arus balik dari apa yang disebut Grindle
(1997: 4) sebagai ―too much state‖,di mana negara pada pertengahan 1980an
terlalu banyak melakukan intervensi yang berujung pada jeratan hutang luar
negeri, krisis fiskal, dan pemerintah yang terlalu sentralistis dan otoriter.
Dwiyanto (2007) menyebut setidaknya ada empat faktor yang menjadi
sebab semakin menurunnya dominasi peran negara, yaitu: (1) dinamika ekonomi,
politik dan budaya yang membuat kemampuan pemerintah semakin terbatas
untuk dapat memenuhi semua tuntutan masyarakat; (2) globalisasi yang
membutuhkan daya saing yang tinggi di berbagai sektor menuntut makin
dikuranginya peran negara melalui debirokratisasi dan deregulasi; (3) tuntutan
demokratisasi mendorong semakin banyak munculnya organisasi kemasyarakatan
yang menuntut untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan dan
implementasinya; dan (4) munculnya fenomena hybrid organization yang
merupakan perpaduan antara pemerintah dan bisnis.
Berbagai fenomena tersebut menimbulkan gugatan di antara para
mahasiswa maupun ilmuwan Ilmu Administrasi Negara: Apakah masih relevan
menjadikan pemerintah sebagai lokus studi Ilmu Administrasi Negara?
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa kata „negara‟dalam Ilmu Administrasi
Negara menjadi terlalu sempit dan kurang relevan lagi untuk mewadahi dinamika
Ilmu Administrasi Negara di awal abad ke-21 yang semakin kompleks dan
dinamis. Utomo (2007) menyebutkan bahwa dalam perkembangan konsep Ilmu
Administrasi Negara telah terjadi pergeseran titik tekan dari negara yang semula
diposisikan sebagai agen tunggal yang memiliki otoritas untuk
mengimplementasikan berbagai kebijakan publik menjadi hanya sebagai fasilitator
bagi masyarakat. Dengan demikian istilah public administration tidak tepat lagi
untuk diterjemahkan sebagai administrasi negara, melainkan lebih tepat jika
diterjemahkan menjadi administrasi publik. Sebab, makna kata ‟publik‟di sini jauh
lebih luas daripada kata ‟negara‟ (Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu
Administrasi Negara UGM, 2007: x). Publik di sini menunjukkan keterlibatan
institusi-institusi non-negara baik di sektor bisnis maupun civil society di dalam
pengadministrasian pemerintahan.
Konsekuensi dari perubahan makna public administration sebagai
administrasi publik di sini adalah terjadinya pergeseran lokus Ilmu Administrasi
Negara dari yang sebelumnya berlokus pada birokrasi pemerintah menjadi
berlokus pada organisasi publik, yaitu birokrasi pemerintah dan juga organisasi-
organisasi non-pemerintah yang terlibat menjalankan fungsi pemerintahan, baik
dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik maupun pembangunan ekonomi,
sosial maupun bidang-bidang pembangunan yang lain.
Ilmu Administrasi Publik Sebagai Ilmu Kebijakan Publik
Dengan adanya pergeseran makna ‟publik‟sebagaimana dijelaskan di atas, maka
ilmu administrasi publik telah menemukan lokusnya secara lebih jelas. Intinya,
semua aktivitas yang terjadi pada birokrasi pemerintah dan organisasi-organisasi
non-pemerintah yang menjalankan fungsi pemerintah menjadi bidang perhatian
ilmuwan administrasi publik. Apabila lokus ilmu administrasi publik menjadi
semakin jelas, pertanyaan berikutnya adalah apa yang seharusnya menjadi fokus
perhatian ilmuwan administrasi publik. Kegelisahan tersebut kemudian dijawab
dengan munculnya studi kebijakan publik sebagai pokok perhatian ilmuwan
administrasi publik. Hal ini merupakan implikasi yang sangat logis karena
kebijakan publik merupakan output utama dari pemerintah (Dwiyanto, 2007). Bagi
pemerintah, kebijakan merupakan instrumen pokok yang dapat dipakai untuk
mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya memecahkan berbagai
persoalan publik (public affairs). Upaya tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan kebijakan domestik yang bersifat: distributive policy, protective
regulatory policy, competitive regulatory policy, dan redistributive policy (Ripley,
1985: 60).
Dwiyanto (2007) dengan mengutip pendapat Denhardt mengatakan bahwa
tingginya minat ilmuwan administrasi publik untuk memusatkan perhatian pada
studi kebijakan semakin meningkatkan keyakinan bahwa para administrator
memiliki intensitas yang tinggi dalam proses perumusan kebijakan publik. Hal ini
juga semakin menguatkan argumen bahwa ilmu administrasi publik memang tidak
dapat dipisahkan dari induknya Ilmu Politik, sebab proses perumusan kebijakan itu
sendiri tidak hanya dilakukan melalui tahapan yang bersifat teknokratis akan tetapi
juga melampaui tahapan yang bersifat politis. Tahapan teknokratis dalam proses
perumusan kebijakan memiliki posisi sentral. Sebab, pada tahapan ini berbagai
solusi cerdas sebagai upaya memecahkan persoalan masyarakat digodok agar
dapat dirumuskan serangkaian alternatif kebijakan yang dapat dipilih oleh para
policy maker melalui proses politik. Pentingnya proses teknokratis dalam
pembuatan kebijakan semakin membuat analisis kebijakan publik menjadi
keahlian yang sangat vital yang dibutuhkan oleh para praktisi administrasi publik.
Berbagai tokoh seperti William N. Dunn (1981), Carl Patton dan David Sawicki
(1983), Arnold J. Meltsner (1986), dan lain-lain telah menghasilkan berbagai buku
penting sebagai acuan para ilmuwan dan praktisi administrasi publik dalam
melakukan kegiatan analisis kebijakan publik. Selain itu, kenyataan bahwa
kebijakan yang telah dirumuskan tidak selalu menjamin implementasinya akan
berjalan mulus juga memicu munculnya studi implementasi kebijakan publik di
dalam ilmu administrasi publik. Para ilmuwan seperti Jeffrey Pressman dan Aaron
Wildavsky (1984), Merilee Grindle (1980), Malcolm Goggin et.al (1990) merupakan
sebagian ilmuwan yang menjadi pelopor pengembangan studi implementasi
dalam disiplin Ilmu Administrasi Publik.
Administrasi Publik Sebagai Manajemen Publik
Dengan adanya perkembangan terakhir tersebut menjadikan Ilmu Administrasi
Publik memiliki lokus dan fokus yang lebih jelas. Lokus studi ini adalah organisasi
publik, sementara fokus perhatiannya adalah persoalan publik (public affairs) dan
bagaimana persoalan tersebut dipecahkan dengan instrumen kebijakan publik.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, kegelisahan ilmuwan administrasi publik
tidak hanya berhenti sampai di sini. Buku Owen E. Hughes (1998) yang berjudul
―Public Management and Administration‖merupakan pemikiran yang memicu
perlunya perubahan dalam mendefinisikan Ilmu Administrasi Publik.
Jika di masa-masa sebelumnya yang dipersoalkan adalah makna public
pada public administration yang kemudian bergeser dari administrasi negara
menjadi administrasi publik, Hughes memulai diskusi dengan menganjurkan untuk
menggunakan istilah manajemen publik daripada administrasi publik. Pemikiran
Hughes tersebut memang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan paradigma
Ilmu Administrasi Publik yang terjadi pada era 1990an yang mencoba
memperbarui mekanisme pengelolaan birokrasi publik yang dikenal sangat
hirarkis, lamban, dan tidak efisien dengan mengadopsi prinsip-prinsip yang
diterapkan pada manajemen bisnis. Keluhan tentang tidak relevannya prinsip-
prinsip birokrasi Weberian sudah sering disampaikan. Apa yang disampaikan oleh
Al Gore sebagaimana dikutip oleh Hughes (1998: 3) tentang buruknya sistem
birokrasi yang bekerja atas dasar prinsip Old Public Administration barangkali
mewakili pemimpin negara yang lain: […] in today‘s world of rapid change,
lightning-quick information technologies, tough global competition, and demanding
customers, large, top-down bureaucracies –public or private—don‘t work very
well‖.
Merespon persoalan tersebut, beberapa pemikir kemudian mengajukan
gagasan mereka, seperti: ―managerialism‖(Pollit, 1993), ―new public
management‖(Hood, 1991), ―market-based public administration‖(Lan, Zhioying &
Rosenbloom, 1992), dan ―post-bureaucratic paradigm‖(Barzelay, 1992). Namun
yang paling fenomenal tentu saja pemikiran Osborne dan Gaebler (1992) tentang
―entrepreneurial government‖yang ditulis dalam buku mereka yang menjadi best
seller, yaitu ―Reinventing Government‖. Gagasan mereka kemudian diadopsi
secara luas di berbagai negara setelah pemerintahan Clinton-Gore di Amerika
Serikat mengadopsinya secara sukses. Selain di Amerika, gagasan untuk
mengembangkan paradigma public managerialismdalam disiplin Ilmu
Administrasi Publik juga terjadi di Eropa, terutama di Inggris ketika tekanan
terhadap keterbatasan anggaran bagi penyediaan layanan publik telah memaksa
pemerintahan Margaret Thacher untuk menerapkan berbagai upaya guna lebih
mengefisienkan pelayanan publik di Inggris. Rhodes (1991) menyerukan perlunya
diterapkan semboyan “3Es” atau economy, efficiency dan effectiveness agar
pelayanan publik di Inggris menjadi lebih efisien.
Berbagai realitas sebagaimana digambarkan di atas membawa pada suatu
cakrawala baru di antara para ilmuwan administrasi negara untuk sampai pada
suatu kesimpulan bahwa administrasi publik yang berkonotasi sempit perlu diubah
menjadi manajemen publik yang lebih memiliki jangkauan yang lebih luas
sebagaimana dikatakan oleh Hughes (1998: 4): ―It is argued here that
administration is a narrower and more limited function than management […]‖.
Dalam argumentasinya lebih lanjut, Hughes mengatakan bahwa menurut definisi
kamus, kata „manajemen‟ memiliki makna yang lebih luas dibandingkan
„administrasi‟. Dari berbagai definisi kamus yang ada (Oxford Dictionary, Webster
Dictionary dan Latin Dictionary) dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa administrasi
lebih dimaknai sebagai proses dan prosedur yang harus dipatuhi oleh seorang
administrator dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan pelayanan publik.
Sedangkan manajemen memiliki arti lebih luas, yaitu tidak hanya sekedar
mengikuti prosedur, melainkan berkaitan juga dengan: (1) pencapaian target dan
(2) tanggung jawab bagi manajer untuk mencapai target-target yang telah
ditetapkan.
Selain alasan tersebut, Hughes (1998: 6) juga menyebut semakin
meluasnya penggunaan istilah „manajemen‟ dan „manajer‟ di sektor publik.
Sementara di sisi yang lain, penggunaan istilah ‟administrasi‟justru mengalami
penurunan. Di Indonesia sendiri, sejak pemerintahan Kolonial Belanda berakhir,
penggunaan istilah ‟administrasi‟di dalam birokrasi pemerintah semakin jarang
digunakan. Kalaupun digunakan, istilah ‟administrasi‟telah mengalami
kemerosotan makna sebagai konsep untuk menggambarkan pekerjaan ketik-
mengetik atau sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan prosedur surat-
menyurat (cf. Utomo, 2007: 131). Apa yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa
istilah ‟manajemen‟ memiliki makna lebih superior dibandingkan istilah
„administrasi‟. Oleh karena itu Hughes (1998: 6) kemudian mengatakan bahwa:
―As part of the general process ‗public administration‘ has clearly lost favor as a
description of the work carried out; the term ‗manager‘ is more common, where
once ‗administrators‘ was used‖. Dukungan terhadap pendapat Hughes juga
diberikan oleh Pollitt (1993: vii) yang menyebutkan: ―formerly they were called
‗administrators‘, ‗principal officers‘, ‗finance officers‘ atau ‗assistant directors‘. Now,
they are ‗managers‘‖.
Tentu saja, pentingnya perubahan dari administrasi menjadi manajemen
bukan hanya sekedar sebuah pergantian istilah. Perubahan tersebut akan
berimplikasi pada bangun teoritis yang perlu dikembangkan untuk mendukung
perubahan nama dari administrasi menjadi manajemen, misalnya menyangkut
bagaimana akuntabilitas disampaikan, hubungan eksternal, dan konsepsi tentang
pemerintahan sendiri yang juga akan turut berubah. Hal ini sebagaimana
dikatakan oleh Bozeman dan Straussman (1990: 4) berikut:
―Public management rather than older public administration is used
throughout this book […] The term public management is used here for two
reasons. First, the concern of this book with strategy, dealing with the external
environment, and broad missions and goals of organisations. The term public
management seems to have evolved in such a way that it connotes concern
broader than those internal administration…. Second, public management
need not…occur only within the context of the government agency. The term
public administration has come to be associatedalmost totally with
government bureaucracy; the newer term public management is probably
more fluid‖.
Konsekuensi dari perubahan nama „administrasi publik‟ke „manajemen
publik‟secara epistimologis juga berpengaruh terhadap cara bagaimana ilmuwan
administrasi publik ke depan mengembangkan ilmu ini. Jika selama ini ilmuwan
administrasi publik lebih berkutat pada diskusi yang bersifat filosofis tentang
administrasi, standar etika dan norma bagi manajer publik dalam menjalankan
tugasnya, maka ke depan jika administrasi publik berubah menjadi manajemen
publik, orientasi keilmuan dari disiplin ini juga akan bergeser pada hal-hal yang
lebih empirikal tentang bagaimana mengembangkan keilmuan untuk membantu
manajer publik mencapai tujuan organisasi, bagaimana meningkatkan
kemampuan manajerial mereka dan bagaimana meningkatkan akuntabilitas para
manajer publik tersebut di depan masyarakat. Untuk itu di masa depan ilmuwan
administrasi publik harus memahami: (1) semakin meningkatnya tekanan terhadap
sektor publik untuk melakukan restrukturisasi dan menyerahkan urusan kepada
sektor swasta; (2) bagaimana membuat keputusan yang secara ekonomis
menguntungkan dengan mempelajari public choice theory, principal/agent theory
dan transaction cost theory; (3) perubahan-perubahan lingkungan di sektor swasta
seperti kompetisi yang semakin meningkat dan globalisasi; dan (4) terjadinya
perubahan teknologi informasi yang dapat membantu manajer publik untuk
menyelesaikan berbagai persoalan mereka sehingga ilmuwan manajemen publik
ke depan harus belajar perkembangan teknologi informasi untuk diadopsi menjadi
e-government (Hughes, 1998: 8-18).
Pemikiran untuk mengubah nama „administrasi‟ menjadi „manajemen‟
sebenarnya bukan sesuatu yang aneh jika kita merujuk kembali pada gagasan
awal yang dikembangkan oleh Wilson (1887: 16) tentang Ilmu Administrasi yang
Ia katakan sebagai berikut: ―This is why there should be a science of
administration which shall seek to straighten the paths of government, to make it
business less unbusinesslike‖.Namun demikian, tentu saja manajemen publik
yang dikembangkan oleh ilmuwan administrasi publik di masa mendatang jelas
akan berbeda dengan manajemen bisnis sebagaimana dikembangkan oleh
ilmuwan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Ott, Hyde dan Shafritz (1991: 3)
mengatakan bahwa secara fundamental antara manajemen publik dan
manajemen bisnis jelas berbeda:
―On the other hand, proponents of public administration (and thus public
management) as a field separate and distinct from business administration,
point to fundamental differences between the value systems and ideologies
that comprise their intelectual and emotional fundations. Business
administration is the product of capitalitic ideology: revenues, costs, profits,
and return on ivestment. […] Public management‘s distinctive set of values
includes: popular soveignty, separation of powers, checks and balances,
individual rights, pluralism, the public benefit, collective (or social0 goods, free
access to information, representativeness, equality of opportunity, and equity
in treatment‖.
Berbagai uraian di atas secara gamblang menunjukkan bahwa kata
„administrasi‟pada administrasi publik menjadi semakin kurang relevan, baik
karena substansi yang terkandung di dalam makna kata „administrasi‟itu sendiri
dan juga semakin terdegradasinya kata „administrasi‟dari sebuah konsep yang
memiliki makna tinggi di masa lalu menjadi sebuah konsep yang berkonotasi
rendah dan kurang bermakna di masa kini. Oleh karena itu, agar administrasi
publik memiliki kandungan substansi dan memperoleh penghargaan yang sejajar
dengan ilmu-ilmu yang lain maka tepat kiranya jika administrasi publik diganti
dengan istilah baru menjadi manajemen publik.
Referensi
Applebey, P. 1945. „Government is Different‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C.
(Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt
Brace College Publishers.
Barzelay, M. 1992. Breaking Through Bureaucracy: A New Vision for Managing in
Government. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.
Bozeman, B. & Straussman, J. 1990. Public Management Strategies,
Sanfrancisco: Jossey-Bass.
Darwin, M.M. 2007. „Revitalisasi Nasionalisme Madani dan Penguatan Negara di
Era Demokrasi‟, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.
Dunn, W.N. 1981. Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice
Hall.
Dwiyanto, A. 2007. „Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: dari Government ke
Governance‟, dalam Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi
Negara Universitas Gadjah Mada (Eds.), Dari Administrasi Negara ke
Administrasi Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Fayol, H. 1916. General and Industrial Management. London: Pitman and Sons,
Ltd.
Goggin, M.L, Bowman, A.O, Lester, J.P, & O‟toole, Jr., L.J. 1990. Implementation
Theory and Practice Toward a Third Generation. Glenview, Illinois, etc.:
Foresman and Company.
Goodnow, F.J. 1900. „Politics and Administration‟, dalam Shafritz, J.M & Hyde,
A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt
Brace College Publishers.
Grindle, M.S. 1980. Politic and Policy Implementation in the Third World.
Princenton: Princenton University Press.
Grindle, M.S. 1997. „The Good Government Imperative”, dalam Grindle, M.S.
(Ed.). Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of
Developing Countries. Harvard University Press.
Gullick. L. 1937. „Notes on the Theory of Organization‟, dalam Shafritz, J.M. &
Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.:
Harcourt Brace College Publishers.
Henry, N. 1990. Public Administration and Public Affairs. New Jersey: Prentice-
Hall International Inc.
Hood, C. 1991. „A Public Management for All Seasons?‟, Public Administration, 69
(1): 3-19.
Hughes, O. 1994. Public Management and Administration. Great Britain and New
York: Macmillan Press LTD and ST.Martin‟s Press. Inc.
Keban, Y.T. 2007. „Pembangunan Birokrasi: Agenda Pembangunan yang
Terabaikan‟, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.
Lan, Z. & Rosenbloom, D.H. 1992. „Editorial: Public Administration in Transition?‟,
Public Administration Review, 52 (6): 535-7.
Meltsner, A. J. 1986. Policy Analysis in the Bureaucracy. Berkeley: University of
California.
Osbone, D. & Gaebles, T. 1992. Reiventing Government: How the Entrepreneurial
Sipirit is Transforming the Public Sector. Reading, MA.: Addison Wesley.
Ott, J.S., Hyde, A.C., & Shafritz, J.M. 1991. Public Management: The Essential
Reading. Chicago, Illinois: Nelson-Hall.
Patton, C. & Sawicki, D. 1993. Basic Methods of Policy Analysis and Planning.
New Jersey: Prentice Hall.
Pollit, C. 1993. Managerialism and the Public Services: Cuts or Cultural Change in
the 1990s. Oxford: Basil Blackwell.
Pratikno. 2007. „Governance dan Krisis Teori Organisasi‟, Jurnal Kebijakan dan
Administrasi Publik, 11 (2): 121-138.
Pressman, J.L. & Wildavsky, A. 1973. Implementation. Berkeley, etc: University
California Press.
Rhodes, R.A.W. 1991. „Introduction‟, Public Administration, 69 (1): 1-2.
Ripley, R. 1985. Policy Analysis in Political Science. Chicago: Nelson-Hall
Publishers.
Simon, H. 1946. „Proverbs of Administration‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C.
(Eds.), 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt
Brace College Publishers.
Taylor, F.W. 1912. „Scientific Management‟, dalam Shafritz, J.M & Hyde, A.C.
(Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt
Brace College Publishers.
Thoha. M. 2007 „Demokrasi dalam Birokrasi Pemerintah: Peran Kontrol Rakyat
dan Netralitas Birokrasi‟, dalam Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu
Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (Eds.), Dari Administrasi
Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Utomo, W. 2007. „Administrasi Publik Indonesia di Era Demokrasi Lokal:
Bagaimana Semangat Kompatibilitas Menjiwai Budaya Birokrasi‟, dalam
Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas
Gadjah Mada (Eds.), Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Weber, M. 1922. „Bureaucracy‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997.
Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College
Publishers.
White, L.D. 1926. „Introduction to the Study of Public Administration‟, dalam
Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration.
Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.
Willougby, W. 1918. „The Movement for Budgetary Reform in the States‟, dalam
Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration.
Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.
Wilson, W. 1887. „The Study of Administration‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C.
(Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt
Brace College Publishers.
Sumber : www.pa.fisipol.ugm.ac.id/ perubahan%20nama%20dari%20an%20ke%20mkp.pdf