Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasa system penyelenggaraan pemerintahan merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Karena tidak mungkin pembahasan masalah otonomi daerah dibahas tanpa mempersandingkan dengan konsep desentralisasi. Bahkan menurut banyak kalangan otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri. Pembahasan mengenai otonomi daerah akan diluaskan dengan memakai istilah desentralisasi.
Desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara. Sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut.
`Otonomi daerah dianggap dapat menjawab tuntutan pemerataan social, ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan, dan pembangunan politik yang edektif. Hak otonomi memberikan peluang bagi masyarakat uuntuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, menunjukkan bahwa pemerintah telah berupaya secara terus menerus untuk mencari titik keseimbangan yang tepat dalam meletakkan bobot desentralisasi dan otonomi daerah. Secara formal jurisdiksi pemerintah daerah bergeser di antara dua kutub nilai, yaitu nilai pembangunan bangsa (nation building) dan stabilitas nasional disatu fihak, dan nilai otonomi daerah di lain fihak. Respon juridis formal pemerintah Indonesia terhadap dilema ini, ternyata bervariasi dari waktu ke waktu, tergantung kepada konfigurasi konstitusional dan konfigurasi politik pada suatu waktu tertentu.
Secara konseptual rumusan kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia sudah dilakukan dengan maksimal. Akan tetapi, kenyataannya pada tingkat implementasi pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan pelaksanaan otonomi daerah yang dimaksud belum berjalan sebagaimana diharapkan. Karena itu, dalam makalah ini akan dicoba dibahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi otonomi daerah.
B. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Rondineli mendedfinisikan desentralisasi sebagai transfer tanggung jawwab dalam perencanaan, manajemen, dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-agennya kepada unit kementrian pemerintah pusat, atau unit yang ada dibawah pemerintah.
M. Tuner dan d. Hulme berpandangan bahwa yan dimaksud dengan desentralisasi adalah transfer kewenagan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan public dari pemerintah pusat kepada agen yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Dalam hal ini pemerintah pusat menempatkan kerenangan kepada level pemerintah yang lebih rendahdalam wilayah hirarkis yang secara geogradfis lebih dekat dengan yang dilayani.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
2. Tujuan Otonomi Daerah
Desentralisasi merupakan simbol adanya kepercayaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam konsep desentralisasi, peran pemerintah pusat adalah mengawasi, memantau, dan mengevaluasi pelaksannaan otonomi daerah.
Tujuan yang hendak dicapai dengan diterapkannya otonomi daerah yaitu untuk memperlancar pembangunan diseluruh pelosok tanah air secara merata tanpa ada pertentangan, sehingga pembangunan daerah merupakan pembangunan nasional secara menyeluruh.
Melalui otonomi diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan setiap kegiatannya tanpa ada intervensi dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah diharapkan mampu membuka peluang memajukan daerahnya dengan melakukan identifikasi sumber-sumber pendspatan dan mampu menetapkan belanja daerah secara efisien, efektif, dan wajar.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka konsep otonomi yang diterapkan adalah :
1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintah pusat dalam hubungan domestik kepada pemerintan daerah. Kecuali untuk bidang politik luar negeri, pertahanan, keagamaan, serta bidang keuangan dan moneter. Dalam konteks ini, pemerintah daerah terbagi atas dua ruang lingkup, yaitu daerah kabupaten dan kota, dan propinsi.
2. Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat.
3. Peningkatan efektifitas fungsi pelayanan melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki, serta lebih responsif terrhadap kebutuhan daerah.
4. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengatuan yang lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan daerah. Pembagian pendapatan dari sumber penerimaan yang berkaitan dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi.
5. Pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah serta pemberian keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat.
6. Perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah yang merupakan suatu system pembiayayaan penyelenggaraan pemerintah yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah serta pemerataan antar daerah secara proposional.
3. Aturan Perundang-Undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
1. Faktor / Latar Belakang Otonomi Daerah
Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap berbagai kewenangan yang selama 20 tahun pemerintahan Orde Baru (OB) menjalankan mesin sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang pemerintahan daerah yang kemudian disusul dengan UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa menjadi tiang utama tegaknya sentralisasi kekuasaan OB. Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya tumbuh sebelum OB berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan. Stabilitas politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan pertama bagi OB untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat.
Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebijakan otonomi daerah berupa UU No. 22/1999. Pertama, faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.
2. Faktor Pendukung Terselenggaranya Otonomi Daerah
Dalam pelaksanaannya, otonomi daerah merupakan desentralisasi sebagian kewenangan dari pemeruntah pusat kepada pemerintah daerah untuk dilaksanakan menjadi urusan rumah tangganya sendiri. Pemberian otonomi kepada daerah haruslah didasarkan kepada faktor-faktor yang dapat menjamin daerah yang bersangkutan mampu mengurus rumah tangganya.
Diantara factor-faktor tersebut yang mendukung terselenggaranya otonomi daerah diantaranya adalah kemampuan sumberdaya manusia yang ada, serta kerersediaan sumber daya alam dan peluang ekonomi daerah tersebut.
Salah satu kunci kesuksesan penyelenggaraan otonomi daerah sangatlah bergantung pada sumber daya manusianya. Disamping perlunya aparatur yang kompeten, pembangunan daerak juga tidak mungkin dapat berjalan lancar tanpa adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Untuk itu tidak hanya kualitas aparatur yang harus ditingkatkan tetapi juga kualitas partisipasi masyarakat.
Dalam mensukseskan pembangunan dibutuhkan masyarakat yang berpengetahuan tinggi, keterampilan tinggi, dan kemauna tinggi. Sehingga benar benar mampu menjadi innovator yang mampu menciptakan tenaga kerja yang burkualitas.
Tanpa pertumbuhan ekonomiyang tinggi, pendapatan daerah jelas tidak mungkin dapat ditingkatkan.sementara itu dengan pendapatan yang memedahi, kemampuan daerah untuk menyelenggarakan otonomi akan menungkat. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas, daerah akan mampu untuk membuka peluang-peluang potensi ekonomi yang terdapat pada daerah tersebut.
Penmgembangan sumber daya alam yang ada di daerah tersebut, apabila dikelola dengan secaraa optimal dapat menunjang pembangunan daerah dan mewujudkan otonomi. Kemampuan daerah untuk membiayai diri sendiri akan terus meningkat.
3. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi kebijakan Otonomi daerah
Rondinellli dan Cheema (1983:30) dalam memperkenalkan teori implementasi kebijakan, orientasinya lebih menekankan kepada hubungan pengarih faktor-faktor implementasi kebijakan desentralisasi terhadap lembaga daerah dibidang perencanaan dan administrasi pembangunan. Menurut Rondinelli dan Cheema, ada dua pendekatan dalam proses implementasi yang sering dikacaukan.
Pertama, the compliance approach, yaitu yang menganggap implementasi itu tidak lebih dari soal teknik, rutin. Ini adalah suatu proses pelaksanaan yang tidak mengandung unsur-unsur politik yang perencanaannya sudah ditetapkan sebelumnya oleh para pimpinan politik (political leaders). Para administrator biasanya terdiri dari pegawai biasa yang tunduk kepada petunjuk dari para pemimpin politik tersebut. Kedua, the political approach. Pendekatan yang kedua ini sering disebut sebagai pendekatan politik yang mengandung “Administrasi merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari proses penetapan kebijakan, dimana kebijakan diubah, dirumuskan kembali, bahkan menjadi beban yang berat dalam proses implementasi.” Jadi, membuat 4 implementasi menjadi kompleks dan tidak bisa diperhitungkan (unpredictable). Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan belum mendapat perhatian yang serius di negara-negara yang sedang berkembang (termasuk Indonesia), karena kebanyakan para perumus kebijakan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah lebih suka menggunakan pendekatan thecompliance approach daripada the political approach. Mereka beranggapan apabila suatu kebijakan sudah ditetapkan dan sudah diumumkan menjadi suatu kebijakan publik serta-merta akan dapat diimplementasikan oleh para pegawai pelaksana secara teknik tanpa ada unsur-unsur atau kendala politik apapun, dan hasil yang diharapkan segera akan dicapai. Akan tetapi, pengalaman mengenai desentralisasi dan otonomi daerah di negara-negara sedang berkembang yang juga menyangkut program dan kebijakan lainnya, menunjukkan bahwa implementasi kebijakan bukan hanya sekedar proses teknis dalam melaksanakan perencanaan yang sudah ditetapkan. melainkan merupakan suatu proses interaksi politik yang dinamis dan tidak dapat diperhitungkan.
Berbagai ragam faktor politik, sosial, ekonomi, perilaku dan organisasi kesemuanya sangat mempengaruhi seberapa jauh kebijakan yang sudah ditetapkan dapat diimplementasikan sesuai dengan yang diharapkan, dan sampai seberapa jauh pula implementasi tersebut mencapai tujuan kebijakan.
Menurut Rondinelli dan Cheema, ada empat faktor yang dipandang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi bebas, yaitu: environmental conditions: interofrganizational relationship; available resources; and characteristic of implementing agencies. Signifikansi hubungan pengaruh antara variabel yang satu dengan yang lain dalam mempengaruhi pelaksananaan otonomi daerah sangat bervariasi dalam situasi yang satu dengan yang lain.
Faktor environmental conditions mencakup faktor seperti struktur politik nasional, proses perumusan kebijakan, infra struktur politik, dan berbagai organisasi kepentingan, serta tersedianya sarana dan prasarana fisik. Suatu kebijakan ada hakekatnya timbul dari suatu kondisi lingkungan sosial-ekonomi dan politik yang khusus dan kompleks. Hal ini akan mewarnai bukan hanya substansi kebijakan itu sendiri, melainkan juga pula hubungan antar organisasi dan karekateristik badan-badan pelaksana di lapangan, serta potensi sumber daya, baik jumlah maupun macamnya.
Struktur politik nasional, ideologi, dan proses perumusan kebijakan ikut mempegaruhi tingkat dan arah pelaksanaan otonomi daerah. Di samping kitu, karakteristik struktur lokal, kelompok-kelompok sosial-budaya yang terlibat dalam perumusan kebijakan, dasn kondisi infra-struktur. Juga memainkan peranan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Faktor inter-organizationships, Rondinelli memandang bahwa keberhasilan pelaksananaan otonomi daerah memerlukan interaksi dari dan koordinasi dengan sejumlah organisasi pada setiap tingkatan pemerintahan, kalangan kelompok-kelompok yang berkepentingan.
Faktor resources for program implementation, dijelaskan bahwa kondisi lingkungan yang kondusif dalam arti dapat memberikan diskresi lebih luas kepada pemerintah daerah, dan hubungan antar organisasi yang efektif sangat diperlukan bagi terlaksananya otonomi daerah. Sampai sejauhmana pemerintah lokal memiliki keleluasaan untuk merencanakan dan menggunakan uang, mengalokasikan anggaran untuk membiayai urusan rumah tangga snediri, ketetapan waktu dalam mengalokasikan pembiayaan kepada badan/dinas pelaksana,
kewenangan untuk memungut sumber-sumber keuangan dan kewenangan untuk membelanjankannya pada tingkat lokal juga mempengaruhi melaksanakan otonomi daerah seefektif mungkin. Kepadanya juga perlu diberikan dukungan, baik dari pimpinan politik nasional, pejabat-pejabat pusat yang ada di daerah, maupun golongan terkemuka di daerah. Di samping itu, diperlukan dukungan administratif dan teknis dari pemerintah pusat. Kelamahan yang selama ini dijumpai di negara-negara sedang berkembang ialah keterbatasan sumber daya dan kewenangan pemerintah daerah untuk memungut sumber-sumber pendapatan yang memadai guna melaksanakan tugas-tugas yang diserahkan oleh pemerintah pusat.
Faktor characteristic of implemeting agencies, diutamakan kepada kemampuan para pelaksana di bidang keterampilan teknis, manajerial dan politik, kemampuan untuk merencanakan, mengkoordinasikan, mengendalikan dan mengintegrasikan setiap keputusan, baik yang berasal dari sub-sub unit organisasi, maupun dukungan yang datang dari lembaga politik nasional dan pejabat pemerintah pusat lainnya. Hakikat dan kualitas komunikasi internal, hubungan antara dinas pelaksana dengan masyarakat, dan keterkaitan secara efektif dengan swasta dan lembaga swadaya masyarakat memegang peranan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang sama pentingnya adalah kepemimpnan yang berkualitas, dan komitmen staf terhadap tujuan kebijakan.
Menurut Rondinelli dan Cheema, hasil pelaksanaan kebijakan desentralisasi dalam wujud pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung kepada hubungan pengaruh dari keempat faktor tersebut, dan dampaknya diukur melalui tiga hal sebagai berikut. Pertama, tercapainya tujuan kebijakan desentralisasi yang terwujud pelaksanaan otonomi daerah. Kedua, meningkatnya kemampuan lembaga pemerintah daerah dalam hal perencanaan, memobilisasi sumber daya dan pelaksanaan. Ketiga, meningkatnya produktivitas, pendapatan daerah, pelayanan terhadap masyarakat, dan peran serta aktif masyarakat melalui penyaluran inspirasi dan aspirasi rakyat.
4. Faktor Keberhasilan Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah menimbulkan berbagai harapan baik bagi masyarakat, swasta bahkan pemerintah sendiri. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah Daerah, terutama Kabupaten dan atau Kota dalam menjalankan kebijakan otonominya. Disinilah perlunya mengidentifikasi berbagai dimensi/faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tujuan pemberian otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, pelaksanaan otonomi daerah dikatakan berhasil atau sukses jika mampu mencapai (mewujudkan) tujuan-tujuan tersebut.
Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Syamsi (1986: 199) menegaskan beberapa ukuran sebagai berikut:
1. Kemampuan struktural organisasi
Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktivitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah dan ragam unit cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab yang cukup jelas.
2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah
Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan yang diinginkan.
3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat
Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar memiliki kemauan untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan.
4. Kemampuan keuangan daerah
Pemerintah daerah harus mampu membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara keseluruhan sebagai wujud pelaksanaan, pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Sumber-sumber dana antara lain berasal dari PAD atau sebagian dari subsidi pemerintah pusat.
Keberhasilan suatu daerah menjadi daerah otonomi dapat dilihat dari beberapa hal yang mempengaruhi (Kaho, 1998), yaitu faktor manusia, faktor keuangan, faktor peralatan, serta faktor organisasi dan manajerial. Pertama, manusia adalah faktor yang esensial dalam penyelenggaraan pemerintah daerah karena merupakan subyek dalam setiap aktivitas pemerintahan, serta sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Kedua, keuangan yang merupakan bahasan pada lingkup penulisan ini sebagai faktor penting dalam melihat derajat kemandirian suatu daerah otonom untuk dapat mengukur, mengurus dan membiayai urusan rumah tangganya. Ketiga, peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk memperlancar kegiatan pemerintah daerah. Keempat, untuk melaksanakan otonomi daerah dengan baik maka diperlukan organisasi dan pola manajemen yang baik.
Kaho (1998) menegaskan bahwa faktor yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan otonomi daerah ialah manusia sebagai pelaksana yang baik. Manusia ialah faktor yang paling esensial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Agar mekanisme pemerintahan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka manusia atau subyek harus baik pula.
Atau dengan kata lain, mekanisme pemerintahan baik daerah maupun pusat hanya dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan seperti yang diinginkan apabila manusia sebagai subyek sudah baik pula.
Selanjutnya, faktor yang kedua ialah kemampuan keuangan daerah yang dapat mendukung pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Mamesah mengutip pendapat Manulang (1995: 23) yang menyebutkan bahwa dalam kehidupan suatu negara, masalah keuangan negara sangat penting. Semakin baik keuangan suatu negara, maka semakin stabil pula kedudukan pemerintah dalam negara tersebut. Sebaliknya kalau kondisi keuangan negara buruk, maka pemerintah akan menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan dalam menyelenggarakan segala kewajiban yang telah diberikan kepadanya.
Faktor ketiga ialah anggaran, sebagai alat utama pada pengendalian keuangan daerah, sehingga rencana anggaran yang dihadapkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus tepat dalam bentuk dan susunannya. Anggaran berisi rancangan yang dibuat berdasarkan keahlian dengan pandangan ke muka yang bijaksana, karena itu untuk menciptakan pemerintah daerah yang baik untuk melaksanakan otonomi daerah, maka mutlak diperlukan anggaran yang baik pula.
Faktor peralatan yang cukup dan memadai, yaitu setiap alat yang dapat digunakan untuk memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintah daerah. Peralatan yang baik akan mempengaruhi kegiatan pemerintah daerah untuk mencapai tujuannya, seperti alat-alat kantor, transportasi, alat komunikasi dan lain-lain. Namun demikian, peralatan yang memadai tersebut tergantung pula pada kondisi keuangan yang dimiliki daerah, serta kecakapan dari aparat yang menggunakannya.
Faktor organisasi dan manajemen baik, yaitu organisasi yang tergambar dalam struktur organisasi yang jelas berupa susunan satuan organisasi beserta pejabat, tugas dan wewenang, serta hubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Manajemen merupakan proses manusia yang menggerakkan tindakan dalam usaha kerjasama, sehingga tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai. Mengenai arti penting dari manajemen terhadap penciptaan suatu pemerintahan yang baik, mamesah (1995 : 34) mengatakan bahwa baik atau tidaknya manajemen pemerintah daerah tergantung dari pimpinan daerah yang bersangkutan, khususnya tergantung kepada Kepala Daerah yang bertindak sebagai manajer daerah.
D. Kesimpulan
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi otonomi daerah :
1. Faktor/Latar belakang otonomi daerah
Pertama, faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.
2. Faktor Pendukung Terselenggaranya Otonomi Daerah
a. Kemampuan Sumber Daya Manusia
b. Kemampuan Keuangan/Ekonomi
3. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi kebijakan Otonomi daerah
Menurut Rondinelli dan Cheema, ada empat faktor yang dipandang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi bebas, yaitu: environmental conditions: interofrganizational relationship; available resources; and characteristic of implementing agencies. Signifikansi hubungan pengaruh antara variabel yang satu dengan yang lain dalam mempengaruhi pelaksananaan otonomi daerah sangat bervariasi dalam situasi yang satu dengan yang lain.
4. Faktor Keberhasilan Otonomi Daerah
a. Kemampuan struktural organisasi
b. Kemampuan aparatur pemerintah daerah
c. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat
d. Kemampuan keuangan daerah
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=29501:kita-harus-akui-otonomi-daerah-gagal-dan-janggal&catid=27&Itemid=102