Oleh Muhammad Yasir Yusuf
BISNIS Forex (foreign
exchange) atau lebih dikenal dengan valuta asing (valas), di Aceh, saat
ini sedang menarik sebagian besar orang untuk menggelutinya, karena
bisnis ini bisa membuat orang “kaya” mendadak. Akan tetapi jika tidak
pandai dalam menjalankan bisnis ini, maka seseorang akan miskin
seketika. Dalam beberapa pengajian, saya kerap ditanyakan tentang
kedudukan hukum forex dari perspektif hukum Islam. Tulisan berikut,
mungkin, dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Bisnis
forex trading (perdagangan valas) dapat dikategorikan masalah-masalah
hukum Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya bersifat
ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah, masuk ke dalam wilayah fi ma la
nasha fih (masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang
pasti). Dibutuhkan usaha untuk melihat dengan cermat pola dan mekanisme
forex sehingga ia bisa diklasifikasikan ke dalam bisnis yang dibolehkan
ataupun tidak menurut Islam.
Allah SWT menurunkan syariat
Islam menjadi tuntunan hidup yang senantiasa mengakomodir kebutuhan umat
manusia sesuai dengan kekinian dan kedisinian. Alquran dan hadis hanya
memberikan prinsip-prinsip dan norma bisnis bersifat umum yang tidak
boleh dilanggar. Prinsip umum dalam jual beli valas disetarakan dengan
jual beli emas (dinar) dan perak (dirham) sebagaimana yang berlaku pada
masa Rasulullah. Jual beli mata uang haruslah dilakukan dengan
tunai/kontan (naqdan) agar terhindar dari transaksi ribawi (riba fadhl).
Hal ini sebagaimana dijelaskan hadis Rasulullah mengenai jual
beli enam komoditi barang yang dikategorikan berpotensi ribawi. Sabda
Rasulullah saw: “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak,
barli dengan barli, sya’ir dengan sya’ir (jenis gandum), kurma dengan
kurma, dan garam dengan garam, dalam hal sejenis dan sama haruslah
secara kontan (yadan biyadin/naqdan). Maka apabila berbeda jenisnya,
juallah sekehendak kalian dengan syarat secara kontan.” (HR. Muslim).
Perdagangan valas
Berdasarkan
hadis di atas maka Ibnu Mundhir dalam kitab al-Ijma’, halaman 58-59
menganalogikan perdagangan valas sama dengan pertukaran antara emas dan
perak atau dikenal dalam terminologi fiqih dengan istilah sharf (money
changer) yang disepakati para ulama tentang keabsahannya. Maknanya emas
dan perak sebagai mata uang tidak boleh ditukarkan dengan sejenisnya,
misalnya Rupiah kepada Rupiah (IDR) atau US Dolar (USD) kepada Dolar,
kecuali sama jumlahnya (contohnya; pecahan kecil ditukarkan pecahan
besar asalkan jumlah nominalnya sama). Hal itu karena dapat menimbulkan
riba fadhl seperti yang dimaksud dalam larangan hadis di atas.
Namun
bila berbeda jenisnya, seperti Rupiah ke Dolar atau sebaliknya maka
dapat ditukarkan (exchange) sesuai dengan market rate (harga pasar)
dengan catatan harus kontan/on spot (taqabudh fi’li) atau yang
dikategorikan (taqabudh hukmi) menurut kelaziman pasar. Hal ini
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni.
Kriteria tunai atau kontan dalam jual beli dikembalikan kepada
kelaziman pasar yang berlaku, meskipun hal itu melewati beberapa jam
penyelesaian (settelment)-nya karena proses teknis transaksi. Harga atas
pertukaran itu dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penjual
dan pembeli atas dasar market rate. Ini untuk persoalan pertama tentang
jual beli (tukar menukar) mata uang yang berbeda antara satu negara
dengan negara lainnya.
Kedua, mengenai perdagangan pada pasar
berjangka yang melibatkan jual beli barang dengan menggunakan uang yang
berbeda antar negera. Perdagangan di pasar berjangka ini tidak akan
dikatakan mengandung unsur penipuan selama komoditi yang
diperjual-belikan itu wujud secara fisik dan mampu diserahkan apabila
dikehendaki. Seperti membeli barang impor dengan mata uang asing dan
barang tersebut diserahkan di kemudian hari sesuai dengan perjanjian.
Hal ini dibolehkan selama kesepakatan jual beli dengan harga yang sudah
pasti, sehingga walaupun harga tukar mata uang naik, maka harga yang
dipegang adalah harga yang telah disepakati tersebut. Sebagaimana hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: “Jangan engkau menjual sesuatu yang
tidak ada padamu.” (HR. Muslim)”.
Ketiga, jual beli mata uang
dengan menggunakan uang sebagai komoditi yang diperdagangkan yaitu
dengan mencari keuntungan dari selisih naik turunnya satu nilai mata
uang satu negara terhadap negara lainnya. Pertama, jual beli mata uang
ini bisa dikatagorikan ke dalam gambling (judi) karena jual beli mata
uang ini bersifat spekulasi. Artinya jika kita sedang beruntung maka
kita akan untung, sebaliknya jika tidak maka akan rugi; Kedua, sebagian
besar pemikir ekonomi Islam seperti Umar Chapra, Taqiuddin al Nabhani,
Monzer Khaf, Mannan dan lainnya mengatakan bahwa uang adalah alat tukar,
bukan komoditi yang bisa diperdagangkan. Apabila uang menjadi komoditi
yang diperdagangkan maka pertumbuhan ekonomi satu Negara akan hancur.
Sehingga mereka melarang praktek jual beli mata uang seperti ini.
Dalam
kaitan pembahasan di atas, fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:
28/DSN-MUI/III/2002 tentang Kegiatan Transaksi Jual-Beli Valas pada
prinsipnya dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut: Pertama, tidak
untuk spekulasi (untung-untungan); Kedua, ada kebutuhan transaksi atau
untuk berjaga-jaga (simpanan); Ketiga, apabila transaksi dilakukan
terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai
(at-taqabudh), dan; Keempat, apabila berlainan jenis maka harus
dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi
dilakukan dan secara tunai.
Jenis transaksi valas
Adapun
ketentuan mengenai hukum jenis-jenis transaksi valas, dijelaskan dalam
fatwa tersebut sebagai berikut: Transaksi Spot, yaitu transaksi
pembelian dan penjualan valas untuk penyerahan pada saat itu (over the
counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari.
Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari
dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan
merupakan transaksi internasional.
Transaksi Forward, yaitu
transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada
saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x
24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga
yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan
penyerahannya dilakukan di kemudian hari. Padahal, harga pada waktu
penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati,
kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang
tidak dapat dihindari (lil hajah).
Transaksi Swap, yaitu suatu
kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang
dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan
harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir
(spekulasi). Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam
rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas
sejumlah unit valas pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir
tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir.
* Muhammad Yasir Yusuf, Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Jurusan Ekonomi Islam. Email: m.yasiryusuf@gmail.com
Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2012/06/08/forex-dalam-islam