Wednesday, April 27, 2011

Alokasi Anggaran Pendidikan Tak Sesuai Undang-undang

LHOKSEUMAWE-Alokasi anggaran untuk sektor pendidikan pada APBK Lhokseumawe 2011 tidak sesuai peraturan perundang-undangan. Padahal sesuai dengan UU nomor 20 tahun 2003, seharusnya anggaran untuk pendidikan ini sekurang-kurangnya 20 persen dari APBK. Namun untuk alokasi anggaran pendidikan di Kota Lhokseumawe, hanya 3,96 persen.

Menurut Koordinator Suara Mahasiswa Anti Korupsi (SuMAK), Muniral Fanny menyebutkan, APBK Lhokseumawe anggaran 2011 sebesar Rp 459,3 miliar. Dari jumlah ini, Belanja Tidak Langsung sebesar Rp 303,1 miliar, dan Belanja Langsung sebesar Rp 156,2 miliar. Sementara Untuk Dinas Pendidikan, Pemuda Dan Olah Raga dialokasikan sebesar Rp 149,7 miliar dan untuk belanja pegawai diperuntukkan Rp 131 miliar.

“Jadi hanya Rp 18 miliar atau 3,96 persen dari total APBK Lhokseumawe untuk anggaran publik. Persoalan ini juga terjadi terhadap Dinas Kesehatan yang memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp 36,7 miliar. Sementara untuk belanja pegawai mencapai sekitar 30 miliar, dan untuk anggaran publik hanya sekitar Rp 6 miliar atau 1,46 persen dari total APBK Lhokseumawe,” ujar Muniral, dalam keterangan pers yang diterima koran ini, kemarin.

Dari hasil analisis di atas maka Suara Mahasiswa Anti Korupsi (SuMAK) mendesak anggota DPRK Lhokseumawe jangan serta-merta mengesahkan anggaran yang diajukan oleh eksekutif, artinya pihak DPRK harus mempertimbangkan berbagai aspek terutama aspek yuridis dalam pengesahan anggaran., serta pihak eksekutif harus mengedepankan kepentingan publik dalam pengusulan anggaran.

“Adanya transparansi APBK Lhokseumawe yang dilakukan pemerintah baik dalam bentuk poster, buku saku, maupun media elektronik,” pintanya. (msi)

 Sumber : Rakyat Aceh

Tuesday, April 26, 2011

PATOLOGI BIROKRASI


Latar Belakang

Perkembangan Ilmu Administrasi Negara, yang dewasa ini mulai lazim disebut Administrasi Publik, sudah demikian pesatnya. Di samping konsep-konsepnya yang makin implementatif dan tidak lagi dikaburkan dengan konsep manajemen, sehingga diharapkan tercipta pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat (pelayanan prima). Disebutkan makin implementatif karena mulai dimanfaatkannya secara sungguh-sungguh berbagai konsep manajemen modern, yang semula berhasil diterapkan dalam dunia swasta/bisnis,kemudian dimodifikasi untuk kepentingan administrasi publik.
Dalam mewujudkan kepentingan administrasi publik (pelayanan prima) sangat diperlukan birokrasi yang baik. Penyempurnaan birokrasi dalam pemerintahan memerlukan perubahan sikap mendasar dari birokrasi itu sendiri. Patologi birokrasi terutama menunjukan adanya kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri, mempertahankan status quo dan menghalangi adanya perubahan yang cenderung sentralistik.
Namun transformasi birokrasi itu sendiri juga tidak mudah untuk dilaksanakan, pasalnya pendekatannya sering terlalu bersifat struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi fungsi. Tetapi yang tidak kalah penting adalah pembaharuan pada sisi nilai nilai yang membentuk manusia birokrat.
Perubahan lanskap makro yang interdependen baik ditingkat lokal, nasional, dan global saat ini, sangat mempengaruhi berbagai daerah di Indonesia. Ditingkat lokal, dengan dilaksanakannya otonomi daerah, menandai pergeseran pola manajemen pemerintah dari manajemen pemerintahan yang sentralistik-eksploitatif. Kemudian di tingkat nasional, adanya perubahan besar dibidang politik, ditandai dengan pergeseran system politik dari otoritarian-bebal ke demokratik-akomodatif.
Perubahan yang terjadi di era globalisasi serta tuntutan masyarakat yang semakin kompleks dan selalu berkembang, mengharuskan adanya peningkatan kinerja birokrasi. Untuk itu diperlukan birokrat yang mempunyai pemikiran yang berwawasan global, dan mempunyai jiwa kewirausahaan.

 Pengertian Birokrasi
Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.
Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan dengan jelas dalam organigram. Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan.
Berbagai definisi birokrat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
  1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
  2. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai
  1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, dan
  2. Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Berdasarkan definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi diperoleh dari penunjukan atau ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih (elected). 

Patologi dan Birokrasi

Patologi merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang penyakit”. Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah : "Bureaucracy is an organisation with a certain position and role in running the government administration of a contry" (Mustopadijaja AR., 1999). Dengan demikian dapat dilihat bahwa birokrasi merupakan suatu organisasi dengan peran dan posisi tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negera.
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosio-kultural dan teknologikal.
Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.
Patologi Birokrasi juga diartikan dalam beberapa artian seperti sebagai berikut:
1.      Birokrasi sebagai organisasi yang berpenyakit (patologis)
2.      Organisasi dan perilaku birokrat yang inefektif dan inefisien
3.      Struktur dan fungsi organisasi besar yang sering melakukan kesalahan dan tidak mampu berubah.

Gejala Terjadinya Patologi (penyakit) Birokrasi
             Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi memang bukan hal baru lagi, karena sudah ada sejak zaman dulu. Birokrasi lebih menunjukkan kondisi empirik yang sangat buruk, negatif atau sebagai suatu penyakit (bureau patology), seperti Parkinsonian (big bureaucracy), Orwellian (peraturan yang menggurita sebagai perpanjangan tangan negara untuk mengontrol masyarakat) atau Jacksonian (bureaucratic polity), ketimbang citra yang baik atau rasional (bureau rationality), seperti yang dikandung misalnya, dalam birokrasi Hegelian dan Weberian.
          Citra buruk tersebut semakin diperparah dengan isu yang sering muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan pejabat publik, yakni korupsi dengan beranekaragam bentuknya, serta lambatnya pelayanan, dan diikuti dengan prosedur yang berbelit-belit atau yang lebih dikenal dengan efek pita merah (red-tape). Keseluruhan kondisi empirik yang terjadi secara akumulatif telah meruntuhkan konsep birokrasi Hegelian dan Weberian yang memfungsikan birokasi untuk mengkoordinasikan unsur-unsur dalam proses pemerintahan. Birokrasi, dalam keadaan demikian, hanya berfungsi sebagai pengendali, penegak disiplin, dan penyelenggara pemerintahan dengan kekuasaan yang sangat besar, tetapi sangat mengabaikan fungsi pelayanan masyarakat.
          Buruk serta tidak transparannya kinerja birokrasi bisa mendorong masyarakat untuk mencari ”jalan pintas” dengan suap atau berkolusi dengan para pejabat dalam rekrutmen pegawai atau untuk memperoleh pelayanan yang cepat. Situasi seperti ini pada gilirannya seringkali mendorong para pejabat untuk mencari ”kesempatan” dalam ”kesempitan” agar mereka dapat menciptakan rente dari pelayanan berikutnya. Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala patologi dalam birokrasi, menurut Sondang P. Siagian, bersumber pada lima masalah pokok.

1. Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan nepotisme.
2. Kedua, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan.
3. Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.
4. Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif.
5. Kelima, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih.

Jenis Patologi Birokrasi
            Menurut Sondang P. Siagian (1988) ada beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara lain :
1.  Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab
2.  Pengaburan masalah
3.  Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
4.  Indikasi mempertahankan status quo
5.  Empire bulding (membina kerajaan)
6.  Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
7.  Ketidakpedulian pada kritik dan saran
8.  Takut mengambil keputusan
9.   Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
10. Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif,
11. Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.

Jenis Patologi Sistem Organisasi
            Birokrasi “parkinsonian”, dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur dan kekuasaan.
            Birokrasi “orwellian” yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi.
            Promosi dan rotasi bukan atas dasar kompetensi dan kebutuhan organisasi tetapi kepentingan kekuasaan dan dilakukan
1.      Ritualisme/simbolisme:
            berbagai kegiatan serimonial yang berlebihan
2.      Kinerja yang  rendah (tokenisme) atau paling tinggi mediocre :
            pemborosan, tidak efektif

            Ada beberapa hal lain yang termasuk kedalam patologi birokrasi Organisasi atau kelompok antara lain :
  1. Terlalu percaya pada preseden, padahal tuntutan telah berubah.
  2. Formalisme dan Kurang inisiatif (takut membuat kesalahan)
  3. Inertia (lamban dalam berbagai urusan/keputusan)
  4. Duplikasi kegiatan dan departementalisme
  5. Red tape (cara kerja yang berbelit-belit dan ditunda-tunda)
  6. Peraturan dijadikan tujuan dan menjadi senjata para birokrat untuk melindungi kepentingannya dan mempertahankan status quo.
  7. Budaya  korupsi ( korupsi berjamaah) :
    1. discretionary corruption: diskriminasi, spoil  system, kolusi
    2. illegal corruption: menyalahi aturan yang ada
    3. mercenary corruption: penggelapan uang, komisi, suap, kuitansi fiktif,mark up, ruislag,
    4. ideological corruption: Kebijakan yang memihak partai/ideologi
Jenis Patologi Perilaku Birokrat
1.      Penyalahgunaan wewenang dan jabatan (korupsi): menerima suap, markup, menetapkan imbalan, kontrak fiktif, penipuan.
2.      Tindakan sewenang-wenang: ekstorsi (pemerasan  secara kasar/halus). Misalnya: pemotongan insentif, rapel, gaji dsb
3.      Empire Building  dengan menciptakan para aktor dependent disekelilingnya: promosi (pangkat dan jabatan) , bonus dsb.
4.      Nepotisme/primordialisme : perekrutan dan  penempatan posisi atas dasar  “pertalian darah” /kesukuan kedaerahan bukan kompetensi.
5.      Sycophancy (kecenderungan ingin memuaskan atasan dengan cara yang counter productive) 
6.      Konsumerisme dan hedonisme
7.      Takut mengambil keputusan/mengambil resiko (Decidiophiobia):
8.      Mutu Pelayanan terhadap pelanggan rendah: acuh tak acuh , pura-pura sibuk,  tidak sopan, diskriminasi.
9.      Disiplin dan Semangat kerja umumnya rendah
10.  Armandiloisme : mamalia penggangsir yang melindungi diri dengan memo, rapat dan perangkat peraturan
11.  Hyperpolysyllabicomia: gemar memakai kata-kata  jargon (samar) dan yang muluk untuk menutupi kelemahannya
  
Penyelesaian Masalah Atau Solusi Patologi Birokrasi

            Ada penyakit ada pula obatnya. Untuk mengatasi Patologi Birokrasi, sebaiknya seluruh lapisan masyarakat saling bahu-membahu bekerjasama untuk melaksanakan proses pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Solusi dari Patologi Birokrasi tidak akan menjadi obat yang mujarab jika seluruh lapisan masyarakat tidak saling mendukung. Karena setiap element baik dari pemerintah, dunia bisnis, masyarakat kecil, dan pihak swasta memiliki keterkaitan yang sangat pokok dalam berjalannya pemerintahan.
            Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu: Yang pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya reformasi administrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu saja, atau bukan hanya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja namun juga reformasi yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas birokrat, perbaikan moral, dan merubah cara pandang birokrat, bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan.
            Yang kedua pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang diperbuat. Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara:
1) kepemimpinan yang adil dan kuat
2) alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik
3) adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam birokrasi.

            Yang ketiga ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya demokrasi dan rasa ber-tanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin mudah untuk menyeleweng dari hal yang semstinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Government diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat.
                                                                               
            Merubah Patologi Birokrasi Melalui Prinsip Good Governance

            Mar'ie Muhammad (Media Transparansi 1998) menyatakan bahwa good governance itu ada jika pembagian kekuasaan ada. Jadi ada disperse of power, bukan concentrate of power. Good governance sama dengan disperse of power, pembagian kekuasaan di tambah akuntabilitas publik dan transparansi publik.
            Jadi kalau tidak ada prinsip ini, good governance perlu untuk menekan penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan yang biasanya itu menimbulkan korupsi. Dan corrupt itu selalu abuse of power. Semakin tinggi kualitas dari good governance, semakin rendah korupsi. Sebaliknya semakin rendah kualitas good governance, korupsinya semakin tinggi.
Dari penyataan di atas tergambar dengan jelas betapa prinsip-prinsip good governance dapat mencegah patologi birokrasi terutama dalam hal korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk lebih detailnya prinsip-prinsip good governance dapat merubah patologi birokrasi, maka dapat diuaraikan sebagai berikut:

1.  Participation. Melalui prinsip ini akan masyarakat terlibat dalam pembuatan keputusan yang bangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartsipasi secara konstruktif, sehingga dengan demikian maka pemerintahan tidak menjadi otoriter dalam mengambil keputusan. Keputusan yang dihasilakan merupakan representasi dari keinginan masyarakat dan tidak dapat diintervensi oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkan pemerintah.

2.  Rule of law. Supremasi hukum merupakan langkah yang harus diambil untuk meminimalisir atau menghilangkan praktek-praktek patologi dalam birokrasi. Dengan penegakan hukum yang baik maka indikasi untuk melakukan kesalahan akan terhapus karena para birokrat akan merasa takut dengan ancaman hukum.

3. Transparancy. Melalui prinsip transparansi maka segala hal yang dilakukan oleh pemerintah atau birokrat dapat di kontrol oleh masyarakat melalui informasi yang terbuka dan bebas diakses. Transparansi ini mendorong birokrasi untuk senantiasa menjalankan aturan sesuai ketentuan dan perundang-undangan, karena bila tidak sasuai masyarakat pasti mengetahui dan melakukan penututan.



4. Responsiveness. Pradigama baru birokrasi menekanakan bahwa pemerintah harus dapat melayani kebutuhan masyarakat umum dan memberi respon terhadap tuntutan pembangunan. Patologi yang selama ini terjadi dimana pemerintah dilayani oleh masyarakat, maka dengan prinsip responsiveness pemerintah harus sedapat mungkin memberikan pelayanan kepada stakeholders.

5. Effectiveness and efficiency. Pemborosan yang terjadi dalam praktek pengelolaan organisasi birokrasi dapat diminimalisir oleh prinsip ini. Terutama dalam pengelolaan anggaran pemerintah.

6. Accountability. Melalui pertanggungjawaban kepada publik maka birokrasi menjadi hati-hati dalam bertindak, dengan akuntabilitas publik pemerintah harus memberikan keterangan yang tepat dan jelas tentang kinerjanya secara keseluruhan.

7. Strategic vision. Melalui straegi visi maka akan tumbuh dalam setiap birokrat akan nilai-nilai idealisme dan harapan-harapan organisasi dan negara untuk masa yang akan datang. Nilai-nilai dan harapan-harapan ini akan memeberikan kesan praktek pelaksaan pekerjaan birokrasi.

KESIMPULAN 
Kesimpulan
Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.
            Menurut Sondang P. Siagian (1988) ada beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara lain :
1.  Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab
2. Pengaburan masalah
3.  Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
4.  Indikasi mempertahankan status quo
5.  Empire bulding (membina kerajaan)
6.  Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
7.  Ketidakpedulian pada kritik dan saran
8.  Takut mengambil keputusan
9.   Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
10. Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif,
11. Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.

            Solusi untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu:
1.      Perlu adanya reformasi administrasi yang global.
2.      Pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas
3.      Dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi.

DAFTAR PUSTAKA

arrosyadi.wordpress.com/2009/02/06/patologi-birokrasi
blog.unila.ac.id/denden/files/2009/07/PATOLOGI-BIRO.ppt
http://kerajaan-semut.blogspot.com/2010/03/teori-birokrasi.html
rismankudratumar.blogspot.com/.../perubahan-patologi-birokrasi-ke-etika_10.html
v318.wordpress.com/2007/11/08/patologi-birokrasi/

NEGERI PARA BEDEBAH

Puisi Negeri Para Bedebah
Karya:Adhie Massardi

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan

PEMBANGUNAN EKONOMI


Latar Belakang

Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara.

Negara Indonesia adalah salah satu Negara berkembang yang ada di dunia, Negara ini masih begitu banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan berkaitan dengan perkembangan ekonomi Negara ini. Oleh karena itu, samapai saat ini Indonesia masih begitu terpuruk mengenai ekonominya,baik itu masih banyaknya masyarakat yang garis ekonominya di bawah rata-rata maupun sampai
pertahanan industry dalam negerinya yang begitu lemah.

Dalam hal ini, peran pemerintah sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan atau pembagunan ekonomi, kebijakan pemerintah harus berorientasi kepada publik denga menjadikan masyarakat sebagai actor pembangunannya, dan pemerintah juga harus membangun hubungan yang senergi dengan pihak swasta dalam melakukan pembangunan ekonomi.

Permasalahan pembangunan ekonomi yang selalu menyerang Negara berkembang seperti Indonesia adalah dari segi perencannaannya yang tidak sesuai dengan kebutuhan masa depan atau jangka panjang, terlebih ketika kebijakan yang dibuat demi kepentingan pihak asing.

Begitu juga yang terjadi di Aceh, arah pembangunan ekonomi Aceh tidak jelas, seperti yang dimuat di media cetak Serambi, Rabu 03 Febuari 2010 “Arah pembangunan ekononomi Aceh tak jelas. Selain tidak memiliki rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), konsep-konsep yang dibuat selama ini juga dinilai masih jalan di tempat.

Pengertian Pembanguan

Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam dua paradigma besar, modernisasi dan ketergantungan (Lewwellen 1995, Larrin 1994, Kiely 1995 dalam Tikson, 2005). Paradigma modernisasi mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial dan teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan. Paradigma ketergantungan mencakup teori-teori keterbelakangan (under-development) ketergantungan (dependent development) dan sistem dunia (world system theory) sesuai dengan klassifikasi Larrain (1994). Sedangkan Tikson (2005) membaginya kedalam tiga klassifikasi teori pembangunan, yaitu modernisasi, keterbelakangan dan ketergantungan. Dari berbagai paradigma tersebut itulah kemudian muncul berbagai versi tentang pengertian pembangunan.
 Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat mengartikan kata pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah ber­kembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pen­dahuluan pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelan­jutan. Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai `suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk me­menuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004). Tema pertama adalah koordinasi, yang berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan perencanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya. Tema kedua adalah terciptanya alternatif yang lebih banyak secara sah. Hal ini dapat diartikan bahwa pembangunan hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek kehi­dupan. Ada pun mekanismenya menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan hukum yang terpercaya yang mampu berperan secara efisien, transparan, dan adil. Tema ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi, yang berarti pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan masalah dan pembinaan nilai-nilai moral dan etika umat.
Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam seperti halnya peren­canaan. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, Negara satu dengan Negara lain.  Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pemba­ngunan merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan per­ubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasas­mita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.
Pada awal pemikiran tentang pembangunan sering ditemukan adanya pemikiran yang mengidentikan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan modernisasi dan industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi. Seluruh pemikiran ter­sebut didasarkan pada aspek perubahan, di mana pembangunan, perkembangan, dan modernisasi serta industrialisasi, secara kese­luruhan mengandung unsur perubahan. Namun begitu, keempat hal tersebut mempunyai perbedaan yang cukup prinsipil, karena masing-masing mempunyai latar belakang, azas dan hakikat yang berbeda serta prinsip kontinuitas yang berbeda pula, meskipun semuanya merupakan bentuk yang merefleksikan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994). Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi.
Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan,  antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.
Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro (commuinity/group). Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan dan diversifikasi.
Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah sumua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak dari adanya pem­bangunan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan ma­syarakat yang menyangkut berbagai aspek, pemikiran tentang modernisasi pun tidak lagi hanya mencakup bidang ekonomi dan industri, melainkan telah merambah ke seluruh aspek yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, moderni­sasi diartikan sebagai proses trasformasi dan perubahan dalam masya­rakat yang meliputi segala aspeknya, baik ekonomi, industri, sosial, budaya, dan sebagainya.
Oleh karena dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses perubahan yang mengarah pada perbaikan, para ahli manajemen pembangunan menganggapnya sebagai suatu proses pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari kehidupan tradisional menjadi modern, yang pada awal mulanya ditandai dengan adanya penggunaan alat-alat modern, menggantikan alat-alat yang tradisio­nal.
Selanjutnya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial, para Ahli manajemen pembangunan terus berupaya untuk menggali konsep-konsep pembangunan se­cara ilmiah. Secara sederhana pembangunan sering diartikan seba­gai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Karena perubahan yang dimaksud adalah menuju arah peningkat­an dari keadaan semula, tidak jarang pula ada yang mengasumsi­kan bahwa pembangunan adalah juga pertumbuhan. Seiring de­ngan perkembangannya hingga saat ini belum ditemukan adanya suatu kesepakatan yang dapat menolak asumsi tersebut. Akan tetapi untuk dapat membedakan keduanya tanpa harus memisah­kan secara tegas batasannya, Siagian (1983) dalam bukunya Admi­nistrasi Pembangunan mengemukakan, “Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemam­puan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kuali­tatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak ha­rus terjadi dalam pembangunan.”


Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangun­an. Dalam hal ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan/per­luasan (expansion) atau peningkatan (improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat. 

Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara.
Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth); pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.
Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, sosial dan teknik.

Faktor faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, namun pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi.
Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan.
Sumber daya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat mempengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi (disebut juga sebagai proses produksi).
Sumber daya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada.
Sementara itu, sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas.
Faktor nonekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik, kelembagaan, dan sistem yang berkembang dan berlaku.

Masalah dan Hambatan Pembangunan Ekonomi
Identifikasi masalah - masalah pembangunan dimaksudkan untuk mempercepat upaya pembangunan di negara-negara berkembang. Masalah-masalah yang teridentifikasi adalah faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan, kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan dan beban ketergantungan. 

  Kemiskinan
Untuk memahami lebih jauh persoalan kemiskinan ada baiknya memunculkan beberapa kosakata standar dalam kajian kemiskinan (Friedmann, 1992: 89) yaitu :
a.       Powerty line (garis kemiskinan). Yaitu tingkat konsumsi rumah tangga minimum yang dapat diterima secara sosial.
b.      Absolute and relative poverty (kemiskinan absolut dan relatif). Yaitu kemiskinan yang jatuh dibawah standar konsumsi minimum dan karenanya tergantung pada kebaikan. Sedangkan relatif adalah kemiskinan yang eksis di atas garis kemiskinan absolut yang sering dianggap sebagai kesenjangan antara kelompok miskin dan kelompok non miskin berdasarkan income relatif.
c.       Deserving poor adalah kaum miskin yang mau peduli dengan harapan orang-orang non-miskin, bersih, bertanggungjawab, mau menerima pekerjaan apa saja demi memperoleh upah yang ditawarkan.
d.      Target population, populasi sasaran adalah kelompok orang tertentu yang dijadikan sebagai objek dan kebijakan serta program pemerintah. Mereka dapat berupa rumah tangga yang dikepalai perempuan, anak-anak, buruh tani yang tak punya lahan, petani tradisional kecil, korban perang dan wabah, serta penghuni kampung kumuh perkotaan.

Faktor Penyebab Kemiskinan
Secara sosio ekonomis, terdapat dua bentuk kemiskinan, yaitu :
1. Kemiskinan absolut adalah suatu kemiskinan di mana orang-orang miskin memiliki tingkat pendapatan dibawah garis kemiskinan, atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, kebutuhan hidup minimum antara lain diukur dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan, kalori, GNP per kapita, pengeluaran konsumsi dan lain-lain.
2. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Contohnya, seseorang yang tergolong kaya (mampu) pada masyarakat desa tertentu bisa jadi yang termiskin pada masyarakat desa yang lain.
 Di samping itu terdapat juga bentuk-bentuk kemiskinan yang sekaligus menjadi faktor penyebab kemiskinan (asal mula kemiskinan). Ia terdiri dari:
 1. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang miskin. Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumberdaya yang memadai baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya pembangunan, atau kalaupun mereka ikut serta dalam pembangunan, mereka hanya mendapat imbalan pendapatan yang rendah. Menurut Baswir (1997: kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam.
2. Kemiskinan kuktural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum.
5. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Selanjutnya Sumodiningrat (1998: 27) mengatakan bahwa munculnya kemiskinan struktural disebabkan karena berupaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacam-macam program dan kebijakan.

 Pengangguran
            Ketenagakerjaan di Indonesia merupakan masalah klasik. Di satu sisi kelebihan angkatan kerja dan di sisi lain kesulitan mencari tenaga kerja yang trampil dan produktif. Pengangguran menjadi beban tenaga kerja produktif. Bila tingkat ketergantungan semakin besar akan berdampak persoalan sosial, politik, dan meningkatnya kriminalitas. Tingkat produksi menurun, pertumbuhan ekonomi melambat dan tingkat kesejahteraan masyarakat turun.
A. Jenis-jenis Pengangguran
Jenis Pengangguran Berdasarkan kepada sumber / penyebab yang mewujudkan pengangguran tersebut, yaitu terdiri dari:
  1. Pengangguran normal atau friksional
  2. Pengangguran siklikal
  3. Pengangguran structural
d.      Pengangguran teknologi
Berdasarkan kepada ciri pengangguran yang wujud, yaitu terdiri dari:
  1. Pengangguran terbuka
  2. Pengangguran tersembunyi
  3. Pengangguran musiman
  4. Setengah menganggur

B. Dampak Pengangguran.
1. Bagi perekonomian
a. Masyarakat tidak dapat memaksimumkan tingkat kesejahteraan yang mungkin dicapainya.
b. Pendapatan pajak pemerintah berkurang.
c. Menghambat pertumbuhan ekonomi.
2. Terhadap Individu dan Masyarakat
a. Kehilangan mata pencaharian dan pendapatan
b. Kehilangan atau berkurangnya keterampilan
c. Menimbulkan ketidak-stabilan sosial dan politik

Inflasi
            Inflasi (inflation) adalah suatu gejala dimana tingkat harga mengalami kenaikan terus menerus. Berdasarkan definisi tersebut, kenaikan harga umum yang terjadi sekali waktu saja, tidaklah dapat dikatakan sebagai inflasi.
A. Sebab-sebab timbulnya inflasi:
1. Pandangan Keynes
a. Jumlah uang beredar (Ms) hanyalah salah satu faktor penentu tingkat harga.
b. Dalam jangka pendek Agregate Demand (C, I, G) dan pajak (T) juga mempengaruhi inflasi.

2. Pandangan Aliran Ekspektasi Rasional dan Ekonomi sisi Penawaran
a. Ratex percaya bahwa inflasi merupakan fenomena moneter dan Jumlah Uang Beredar merupakan kunci untuk mencapai stabilitas harga.
b. Ekonomi sisi penawaran; inflasi sebagai fenomena moneter, pembatasan moneter untuk mengurangi inflasi, juga penurunan tarif pajak sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan laju pertumbuhan penawaran agregat sehingga tingkat inflasi dapat dikurangi.
3. Pandangan Kaum Strukturalis
a. Disebabkan adanya kendala atau kekakuan struktural :
b. Kendala penawaran bahan pangan yang bersifat inelastis.
c. Kendala devisa.
d. Kendala fiskal.
e. Inflasi merupakan suatu yang inherent di dalam proses pembangunan ekonomi itu sendiri.

B. Jenis Inflasi
1.       Inflasi tarikan permintaan (demand-pullinflation)/inflasi sisi permintaan (demand-side inflation)/inflasi karena guncangan permintaan (demand-shockinflation). Yaitu inflasi yang disebabkan sebagai akibat dari adanya kenaikan permintaan agregat (AD) yang terlalu besar atau pesat dibandingkan dengan penawaran atau produksi agregat.
2.       Inflasi dorongan biaya (Cost-pushinflation)/inflasi sisi penawaran (supplyside inflation)/inflasi karena guncangan penawaran (supply-shock inflation). Yaitu
  1. Inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya kenaikan biaya produksi yang pesat dibandingankan dengan produktivitas dan efisiensi, yang menyebabkan perusahaan mengurangi supply barang dan jasa mereka ke pasar.
  2. Inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya restriksi terhadap penawaran dari satu atau lebih sumberdaya.
  3. Inflasi yang terjadi apabila harga dari satu atu lebih sumberdaya mengalami kenaikan atau dinaikkan

3. Inflasi struktural (structural inflation). Yaitu inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya berbagai kendala atau kekauan strural yang menyebabkan penawaran didalam perekonomian menjadi kurang atau tidak responsif terhadap permintaan yang meningkat
Jenis-jenis Inflasi dilihat dari tingkat keparahannya yaitu :
1. Inflasi sedang (moderate inflation) yaitu inflasi yang ditandai dengan harga-harga yang meningkat lambat, dan tidak terlalu menimbulkan distorsi pada pendapatan dan harga relative.
2. Inflasi ganas (galloping inflation) yaitu inflasi yang mencapai antara dua atau tiga digit.
3. Hiperinflasi (hyperinflation) adalah tingkat inflasi yang sangat parah, bisa mencapai ribuan bahkan milyar persen per tahun, merupakan jenis inflasi yang mematikan.
C. Dampak Inflasi
Efek redistribusi dari inflasi adalah:
a. Inflasi akan menurunkan pendapatan riil orang yang berpendapatan tetap.
b. Inflasi akan mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang
c. Memperburuk pembagian kekayaan
 d. Penurunan dalam efisiensi ekonomi
e. Perubahan-perubahan di dalam output dan kesempatan kerja
f. Menciptakan lingkungan yang tidak stabil
g. Inflasi cenderung memperendah tingkat bunga riil, menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan di pasar modal
h. Hal ini akan menyebabkan penawaran dana untuk investasi menurun, dan sebagai akibatnya, investasi sektor swasta teretekan sampai ke bawah tingkat keseimbangannya, yang disebabkan oleh terbatasnya penawaran dana yang dapat dipinjamkan
i. Selama inflasi menuntun ke arah tingkat bunga riil yang rendah dan ketidakseimbangan pasar modal, maka inflasi tersebut akan menurunkan investasi dan pertumbuhan.
Pengalaman menunjukkan inflasi yang tidak stabil mengakibatkan masyarakat kesulitan dlm berkonsumsi, berinvestasi, dan berproduksi. Akibat selanjutnya ‘menurunkan pertumbuhan ekonomi’. Jika tingkat inflasi dalam negeri lebih tinggi dari negara lain, dampaknya:
Tingkat suku bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif dan memberikan tekanan pada nilai mata uang dalam negeri 

Neraca Pembayaran Internasional (NPI)
            Yang menjadi sorotan dalam NPI adalah ‘Neraca Transaksi Berjalan’ (current account), yaitu merupakan gabungan antara Neraca Perdagangan (ekspor-impor) dan Neraca Jasa yang mencakup jasa faktor produksi dan jasa non faktor produksi.
Neraca Pembayaran dapat DEFISIT jika IMPOR > EKSPOR
Neraca Pembayaran dapat SURPLUS jika EKSPOR > IMPOR

Kurs ( Nilai Tukar Mata Uang )
             Seperti halnya inflasi, kestabilan kurs sangat penting Jika kurs tidak stabil akan mengganggu roda perekonomian negara, hal ini dikarenakan pelaku ekonomi kesulitan dalam mengambil keputusan ekonominya.
Pertumbuhan Ekonomi
            Dapat diartikan suatu keadaan perekonomian yang menunjukkan adanya kenaikan (pertumbuhan) PDB (Produk Domestik Bruto). Pemerintah berusaha menciptakan iklim perekonomian yang prospektif untuk memacu pertumbuhan perekonomian, tetapi banyak masalah yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi tidak optimal, diantaranya kombinasi produksi yang terbatas. Misalnya ingin menciptakan swa-sembada beras tetapi tidak didukung dengan produksi komoditas pengganti beras, akibatnya selalu kekurangan produksi.
  
Redefinisi Peran Pemerintah Dalam Ekonomi Global
Trend globalisasi ekonomi dan internasionalisasi pembangunan menempatkan peranan negara lebih pada posisi katalisator pembangunan bukan menjadi juru kunci determinator pembangunan. Bahkan aset, peranan, kontribusi, penciptaan lapangan kerja, implikasi ekonomi, dan efek investasi dan besarnya kapitalisasi ekonomi dari suatu perusahaan “chaibol-konglomerat papan atas dunia (Multi-National Cooperations) atau “Trans-National Cooperations” melebihi apa yang dimiliki suatu negara atau pemerintahan.
Jika merujuk dari APBN yang tidak lebih dari Rp.1200 triliun setiap tahunnya termasuk APBD yang juga begitu besar tidak tertandingi dengan aset yang dimiliki suatu perusahaan raksasa atau investasi swasta domestik asing yang sangat besar termasuk dalam penciptaan lapangan kerja dan peningkatan penerimaan Negara dan pendapatan Daerah.
Merujuk pada pemikiran di atas, maka suatu negara dan pemerintah yang mampu bertindak sebagai katalisator pembangunan atau pemicu pertumbuhan dan pemacu ekonomi maka ia akan membuka investasi masuk yang besar. Dalam konteks ini, setiap rupiah yang dikeluarkan oleh pemerintah diharapkan tidak hanya dilihat dari sisi “cost” untuk memperkuat utilitas publik yang bertendensi sosial bersubsidi, tetapi harus memasukkan sisi kajian “benefits” langsung atau tidak langsung bagi penguatan sektor ekonomi-produktif.
Investasi pembangunan (fisik) jalan misalnya, tidak hanya dilihat dari teori membuka ases bagi pelayanan publik yang sifatnya “service provider” ke titik-titik pemukiman, pendidikan, kesehatan, olahraga, pusat seni, dan sektor pemerintahan, tetapi juga harus berani membuka akses yang lebih besar bagi berkembangnya suatu akwasan (ekonomi) yang akan menjadi episentrum pembangunan itu sendiri.
Namun demikian, sisi penyiapan infrastruktur saja tidak cukup karena masih dibutuhkan satu komitmen kuat untuk memanfaatkannya dengan pemberian dukungan yang riil di sektor riil untuk berkembang. Oleh karenanya, jangan abaikan peranan swasta dalam percepatan pembangunan ekonomi di setiap kawasan yang direncanakan. Upayakan jangan terlalu intervensi dari sisi fokus dan lokus usaha, karena selalu ada keyakinan “fensui-honsui” akan bisnis yang diyakini bisa berkembang dengan lebih menguntungkan.
Dalam konteks ini “the good governance  is the less the less government”. Pemerintah yang baik dan dewasa itu biasanya tidak terlalu banyak masuk ke domain ekonomi yang bisa diperankan oleh swasta jika memang hasilnya lebih baik dan sempurna.

 Pembangunan Ekonomi Daerah Dalam Konteks Pemulihan Ekonomi Nasional

Proses pemulihan ini masih berjalan tersendat-sendat. Banyak pihak memperkirakan bahwa proses ini masih akan panjang. Thesis "multiple equilibria" yang ditawarkan oleh Jeffrey Sachs dan Steven Radelet membantu menerangkan mengapa krisis ekonomi di Indonesia telah menjadi krisis yang demikian meluas dan mendalam. Pada intinya, krisis menjadi meluas dan mendalam karena faktor-faktor penularan (contagion), panik (panic) dan salah penanganan (mishandling). Tampaknya proses pemulihan ekonomi nasional juga ditandai oleh adanya "multiple equilibria". Ini bukan disebabkan oleh contagion tetapi oleh complacency; bukan oleh karena panic tetapi oleh karena faktor politics; tetapi mungkin sama-sama disebabkan oleh mishandling. Bila di waktu lalu mishandling itu bersumber pada faktor politik, kini mishandling juga disebabkan oleh faktor politik ditambah dengan incompetence.
Sejauh ini yang banyak disoroti adalah pengaruh dari kepentingan politik dan kepentingan kelompok terhadap proses pemulihan ekonomi. Intervensi politik merupakan gangguan terbesar bagi pemulihan ekonomi. Intervensi politik mempersulit pemberantasan KKN. Intervensi politik memperlambat, bahkan bisa menghentikan, reformasi ekonomi. Intervensi politik merupakan sumber distorsi ekonomi yang berdampak ekonomi yang luas. Dalam suasana transisi kepemimpinan politik, sejak Mei 1998 hingga Nopember 1999, intervensi politik cukup menonjol. Tetapi setelah kita mempunyai pimpinan baru yang legitimate, intervensi politik tampaknya masih akan kental, walaupun dalam bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Era yang kita masuki sekarang adalah suatu era politik yang ditandai oleh gairah partisipasi yang besar dari partai-partai politik, baik melalui DPR atau di luar DPR. Dinamika politik baru ini belum bisa dan belum biasa membedakan antara pilihan politik yang luas dan kepentingan politik yang sempit. Sementara itu naluri dan emosi cenderung menggerakkan bandul pilihan kebijakan dari ekstrema yang satu ke ekstrema yang lain.

Namun politik hanyalah satu dari sejumlah faktor yang mempengaruhi proses pemulihan ekonomi. Yang juga mempunyai pengaruh besar, tetapi kurang mendapatkan perhatian, adalah faktor kelembagaan (termasuk perangkat perundang-undangan dan hukum) dan kemampuan atau kapasitas (capacity). Politik, kelembagaan, dan kapasitas, kesemua itu mempengaruhi pengembangan kebijakan (policy development), yang pada gilirannya ikut menetapkan agenda, membentuk pola serta mewarnai pelaksanaan program pemulihan ekonomi.
Agenda, pola serta program pemulihan ekonomi sebenarnya telah diletakkan sejak pertama kali dirumuskan suatu Memorandum Ekonomi yang merupakan lampiran dari Letter of Intent (LOI) Pemerintah Indonesia kepada Dana Moneter Internasional (IMF) pada akhir Oktober 1997. Program itu berjangka waktu 3 tahun. Kita tentu masih ingat dengan jelas mengapa Memorandum Ekonomi itu berkali-kali harus direvisi dan bahkan mengalami strengthening, yang tepatnya diterjemahkan sebagai "pengketatan". Jika dipelajari sebab-sebab dan arah perubahan dari rangkaian LOI selama ini akan segera terlihat bahwa proses pemulihan ekonomi sejauh ini memang ditandai oleh "multiple equilibria".
Pengketatan yang dimaksudkan di atas tercermin dalam perumusan program yang semakin luas dan semakin rinci. Secara anekdotal pengketatan ini diungkapkan sebagai penambahan pekerjaan rumah, semula untuk mengerjakan 10 soal (dalam LOI pertama), kemudian ditambah menjadi 50 soal (dalam LOI berikutnya), dan akhirnya menjadi 120 soal. Pekerjaan rumah itu terus bertambah karena pekerjaan rumah yang sebelumnya tidak dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Agenda pemulihan menjadi semakin banyak dan rumit. Pihak-pihak tertentu melihat LOI sebagai rangkaian "kondisionalitas" (conditionality) yang dituntut oleh IMF dari Indonesia. Dari sudut penglihatan ini, anekdot yang lebih sinikal menggambarkan strengthening itu sebagai penerapan disiplin yang terus meningkat (oleh IMF kepada kita). Semula kita diperlakukan sebagai murid SMU, kemudian sebagai murid SLU, lalu diperlakukan semakin ketat sebagai murid SD, atau bahkan sebagai murid TK. Proses pernilaian (review) yang semula dijadwalkan sekali setiap enam bulan diperpendek menjadi sekali dalam dua bulan.
Tetapi LOI dan Memorandum Ekonomi itu sebenarnya adalah program Pemerintah Indonesia, hasil negosiasi dengan IMF. Dokter IMF yang kita panggil datang memang membawa resepnya sendiri, dan sejak semula kita tahu obat apa yang akan diberikan. Namun banyak mata agenda dalam program pemulihan ekonomi itu, khususnya program reformasi struktural berasal dari kita sendiri, dan merupakan kelanjutan dari proses reformasi yang kita laksanakan sejak pertengahan tahun 1980an. Walaupun terjadi pengketatan, terutama dalam program reformasi struktural itu, kondisi obyektif telah memungkinkan terjadinya "pelonggaran", seperti tercermin dalam perubahan target APBN. Semula IMF menggariskan surplus sebesar 1% PDB, target yang juga ditetapkan dalam program pemulihan ekonomi Thailand. Target ini diubah menjadi defisit sebesar 1% PDB, kemudian meningkat menjadi 3,5% PDB dan 6% PDB, bahkan dirasakan menjadi terlalu longgar ketika dimungkinkan defisit sebesar 8,5% PDB. Pemerintah sekarang menetapkan sendiri target yang lebih ketat, yaitu defisit sebesar kurang dari 5% PDB.
Faktor politik tampaknya merupakan sebab mengapa IMF sering dikambing-hitamkan. Tidak dapat disangkal bahwa dalam beberapa hal IMF telah memberikan obat yang keliru dan yang termasuk fatal, seperti likuidasi 16 bank pada tanggal 1 Nopember 1997, tanpa memperhitungkan kemungkinan dampaknya yang ternyata begitu luas dan merugikan. Tetapi persoalan utama dalam program pemulihan ini terdapat dalam konstruksinya. Program pemulihan ekonomi, apakah melibatkan 10 atau 50 atau 120 mata agenda, seharusnya merupakan penurunan dari suatu kerangka kebijakan yang koheren (coherent). Kondisi ekonomi politik yang ada selama 33 bulan terakhir ini tampaknya belum memungkinkan kita untuk merumuskan kerangka kebijakan tersebut. Alhasil, kita cenderung untuk begitu saja mengambil alih suatu kerangka kebijakan yang berasal dari luar tanpa kita sendiri sempat untuk mengembangkannya dan menyesuaikannya dengan kondisi kita.
Pemerintah sekarang tampaknya sulit menjalankan program yang merupakan kelanjutan dari program sebelumnya, apalagi program yang telah menjadi begitu rinci. Bahkan sangat mungkin tim ekonomi dalam pemerintah sekarang tidak mendukung paradigma ekonomi yang mendasari program tersebut.
Kelemahan dalam pengembangan kebijakan mungkin merupakan sebab utama mengapa program pemulihan itu tidak diturunkan dari suatu paradigma ekonomi yang jelas dan menjadi landasan dari kebijakan ekonomi pemerintah ini. Tanpa rasa pemilikan (ownership) itu maka pelaksanaannya akan tersendat-sendat.
Kelemahan dalam pengembangan kebijakan yang juga mempunyai pengaruh luas dan dalam adalah yang menyangkut kebijakan pelepasan aset oleh BPPN. Kebijakan memaksimalkan nilai perolehan tidak dapat diterapkan tanpa suatu kriteria, tetapi memang tidak jelas apakah ada kriteria obyektif yang dapat dipakai. Tetapi duduk persoalannya sudah jelas. Proses pelepasan yang lambat juga memperlambat proses pemulihan ekonomi dan membuat biaya restrukturisasi menjadi semakin tinggi.
Kelemahan dalam konstruksi program pemulihan itu juga tercermin dalam apresiasi yang rendah mengenai proses pembangunan kelembagaan dan kemampuan. Suatu kebijakan persaingan (competition law) disiapkan dalam waktu kurang dari satu tahun dan diundangkan tanpa ketegasan konsep dan kejelasan mengenai perangkat kelembagaan yang bisa berfungsi. Proses pembentukan peradilan niaga (bankruptcy court) juga demikian sehingga menghasilan peradilan yang sama sekali tidak mempunyai kredibilitas dan semakin memperparah proses restrukturisasi perbankan dan dunia korporat yang sudah berjalan demikian lambat. Upaya memperbaiki keadaan ini dengan mengangkat hakim ad hoc tidak akan berhasil jika tidak dapat diberikan jaminan keselamatan bagi para hakim ad hoc tersebut.
Betapa pentingnya pengembangan kebijakan serta pembangunan kelembagaan dan kemampuan dalam dan bagi proses pemulihan ekonomi dan untuk menjamin pembangunan ekonomi berkelanjutan. Persoalan ini telah menjadi semakin sulit dan rumit karena proses pemulihan kita ini dilaksanakan dalam suatu era globalisasi yang tidak hanya menyempitkan ruang tetapi juga menyusutkan waktu. Pembangunan kelembagaan dan kemampuan membutuhkan waktu, tetapi kita dituntut untuk meng-akselerasi proses ini agar bisa berpartisipasi dengan sukses dalam ekonomi global.
 Sementara itu pengembangan kebijakan ekonomi, politik dan sosial yang tepat untuk menghadapi globalisasi juga semakin dipersulit oleh merebahnya gelombang "anti-globalisasi" yang penuh retorika salah kaprah dan kerancuan yang bisa menyesatkan.
Dalam konteks inilah kita dihadapkan pada persoalan membangun ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien. Daya saing ekonomi daerah tidak dapat dilihat dalam konteks nasional, yaitu antar ekonomi daerah, tetapi harus dikembangkan dalam konteks internasional. Karena itu tidak dapat dihindari bahwa pembangunan ekonomi daerah harus diselenggarakan dengan pola yang secara tegas berorientasi ke luar.
Dalam tahun-tahun mendatang ini agenda pembangunan ekonomi daerah akan didominasi oleh program desentralisasi dan pengembangan otonomi daerah. Tujuan program ini jauh lebih luas dari pembangunan ekonomi daerah, yaitu untuk meningkatkan rasa keadilan, mengembangkan partisipasi rakyat dan suatu sistim sosial-politik yang demokratis, serta untuk menjaga dan memperkokoh kesatuan bangsa. Pola desentralisasi dan otonomi daerah yang dapat memenuhi semua tujuan itu tidak mudah untuk dirancang. Tujuan-tujuan di atas ingin ditampung dalam UU No 22/1999 dan UU No 25/1999. Dalam berbagai masih terdapat berbagai kerancuan dalam pelaksanaan program ini. Salah satu kerancuan terlihat dari meningkatnya keraguan untuk memberikan otonomi pada daerah Tingkat II.
Lemahnya pengembangan kebijakan serta kelembagaan dan kemampuan di daerah sangat tampak dari minimimnya prakarsa di daerah dan usulan-usulan yang datang dari daerah untuk melaksanakan program desentralisasi dan otonomi daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya merupakan salah satu pencerminan kemampuan daerah, tetapi keragaman yang besar dalam kemampuan itu sudah menunjukkan bahwa selain masalah sequencing dalam desentralisasi dan pemberian otonomi juga perlu dirancang pelaksanaan bertahap sesuai kemampuan masing-masing daerah.

Program desentralisasi dan otonomi daerah merupakan pekerjaan besar dan harus berhasil dengan baik. Melihat keragaman kemampuan maka pelaksanaannya harus didasarkan pada sequencing yang jelas dan penerapan bertahap menurut kemampuan daerah. Dalam proses pemulihan ekonomi nasional, pelaksanaan program desentralisasi yang tergesa-gesa tanpa kesiapan memadai akan mengganggu pemulihan ekonomi yang pada gilirannya akan merugikan pembangunan ekonomi daerah sendiri. Maka sangat mungkin diperlukan suatu kesepakatan baru. Proses desentralisasi tidak perlu diakselerasi. Yang perlu diakselerasi adalah pengembangan kelembagaan dan kemampuan, termasuk untuk pengembangan kebijakan, pada tingkat daerah -- khususnya daerah Tingkat II. Ini merupakan kerja nasional yang harus mendapat prioritas pertama dan dilaksanakan terutama di daerah. Inilah inti dari pemberdayaan ekonomi daerah yang merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien.

Pembangunan Ekonomi Sebagai Masalah Budaya
Kebudayaan mencakup masalah pertautan etika kerja, nilai-nilai kerja sama, dan nilai-nilai yang berkait dengan kesukuan, keagamaan, dan kedaerahan. Kebudayaan memberi makna hidup, termasuk perubahan-perubahan akibat dahsyatnya kekuatan ekonomi dan teknologi dari negara-negara maju.
Penyebab pentingnya kebudayaan bagi kemajuan ekonomi, sejarah membuktikan, letak geopolitik yang strategis tidak menjamin sebuah bangsa memanfaatkan letak itu dengan sebaik-baiknya. Sumber daya alam yang beragam dan memasar tak menjamin keberhasilan pembangunan ekonomi. Bahkan sumber daya alam yang beragam kerap dianggap “kutukan budaya” karena membuat bangsa yang bersangkutan berkurang daya juang.
Mengapa bangsa-bangsa yang letak geopolitiknya kurang strategis dan miskin sumber daya alam (Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura) bisa memajukan dirinya di bidang ekonomi? Jawabnya adalah pada budaya bangsa secara keseluruhan, termasuk disiplin kerja dan ketetapan hati pemimpinnya.
Mereka menggunakan budaya disiplin nasional untuk melakukan “lompatan katak” keluar dari wilayahnya sendiri. Mereka berhasil mengejar “selisih-selisih keunggulan” yang terbuka dalam tantangan perjuangan.
Wajar bila timbul pertanyaan mengapa negara kaya sumber daya alam dan mineral, seperti Brasil dan Indonesia, selalu disebut sebagai bangsa yang “penuh janji” dan “potensial”, tetapi belum mencapai hasil yang diharapkan. Pada tingkat perorangan, kelompok, maupun nasional, agaknya tantangan bagi kedua negara itu untuk memperkuat “budaya pialang” yang memadukan kemauan diri budaya dengan kinerja ekonomi. Pada tingkat nasional, para pemimpin politik kedua bangsa selama berpuluh tahun agaknya hanya “penuh dengan janji” dan lebih banyak “sial” daripada “poten”nya.

KESIMPULAN

Menurut Siagian (1994) pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan per­ubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara.
Masalah-masalah dan hambatan yang teridentifikasi adalah faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan, kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan dan beban ketergantungan, inflasi dan kurs.
 Pembangunan ekonomi sangat dipelukan daya saing ekonomi daerah. Daya saing ekonomi daerah tidak dapat dilihat dalam konteks nasional, yaitu antar ekonomi daerah, tetapi harus dikembangkan dalam konteks internasional. Karena itu tidak dapat dihindari bahwa pembangunan ekonomi daerah harus diselenggarakan dengan pola yang secara tegas berorientasi ke luar.
Pembangunan Ekonomi juga tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan. Penyebab pentingnya kebudayaan bagi kemajuan ekonomi, yaitu sejarah membuktikan, letak geopolitik yang strategis tidak menjamin sebuah bangsa memanfaatkan letak itu dengan sebaik-baiknya. Sumber daya alam yang beragam dan memasar tak menjamin keberhasilan pembangunan ekonomi. Bahkan sumber daya alam yang beragam kerap dianggap “kutukan budaya” karena membuat bangsa yang bersangkutan berkurang daya juang.



DAFTAR PUSTAKA

http://budirismayadi.tripod.com/ekbang-1.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_ekonomi
http://profsyamsiah.wordpress.com/2009/03/19/pengertian-pembangunan/
http://roroadityanovi.blogspot.com/2010/05/masalah-dan-hambatan-pembangunan.html
http://www.dapunta.com/pembangunan-ekonomi-sebagai-masalah-budaya.html
http://www.gokkri.com/2010/02/makalah-ekonomi-pembangunan.html
http://www.pacific.net.id/pakar/hadisusastro/000425.html
http://www.sijorimandiri.net/sm/index.php?option=com_content&view=article&id=3019:redefinisi-peran-pemerintah-dalam-ekonomi-global&catid=50:opini&Itemid=69
www.qchannel.tv/2010/content/video/view_indonesiatalks.php?