Tuesday, March 27, 2012

Kembalikan Demokrasi Kepada Rakyat


Beberapa bulan terakhir ini, media cetak tidak pernah sepi dari berita tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) Aceh, baik berita menyangkut konflik regulasi, calon yang mendaftar hingga kepada argumentasi-argumentasi yang dikeluarkan oleh orang-orang tertentu yang merupakan wujud perang media antar kelompok untuk menunjukkan kelompok tertentu yang benar dan kelompok lainnya salah.
Kisruh Pilkada Aceh disebabkan oleh dua kelompok besar yaitu kelompok yang mendukung calon perseorangn dan kelompok yang menolak. Adanya perdebatan diantara kedua  kelompok ini telah menyebabkan ketidakpastian hukum dalam melaksanakan Pilkada. Artinya ada tarik ulur kepentingan yang sama diantara dua kelompok besar ini, sehingga saling mengambil langkah politik serta langkah hukum untuk membuat kepentingan kelompoknya terwujud. Hal ini telah berdampak pada beberapa kali perubahan jadwal proses pilkada yang harus dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) di karenakan belum jelasnya dasar hukum pelaksanaan Pilkada dan karena adanya putusan sela Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan KIP membuka kembali penerimaan calon Gubernur dan Bupati/Walikota.
Konflik Pilkada akhirnya merambat kepada tidak sehatnya hubungan antara eksekutif dan legislatif yang saling melakukan manuver politik untuk kepentingan-kepentingan tertentu, cukup disayangkan ketika hal ini berdampak pada tidak disahkannya Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten/Kota Perubahan (APBK-P) yang dapat menghambat pembangunan untuk kesejahteraan masyarkat. Pada dasarnya mereka yang harus mengawal Pilkada berjalan dengan sukses, damai dan demokratis. Tersirat bahwa orientasi Pilkada tidak lagi sebagai langkah awal untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat tapi lebih kepada sifat hausnya kekuasaan, bila ini benar-benar terjadi maka masyarkat yang akan dirugikan.
Dalam penyelesaian konflik regulasi, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan nantinya dapat diterima oleh semua pihak, dan menjadi jawaban untuk permasalahan yang terjadi. Di sisi lain penyelesaian secara rekonsiliasi politik juga harus dilakukan antar kedua kelompok sehingga mampu membawa Pilkada dengan damai dan demoktratis.
Menanggapi konflik regulasi Pilkada harus ada sikap kedewasaan berpolitik dan kedewasaan berdemokrasi pada elit-elit politik, jangan sampai ada permainanan kepentingan yang melibatkan masyarakat atas nama demokrasi dan perdamaian. Harus dipahami bahwa negara Indonesia memberikan hak yang sama kepada seluruh rakyatnya sehingga hak yang kita miliki jangan sampai mengganggu hak orang lain.
Rakyat Pemilik Demokrasi
Demokrasi adalah milik rakyat, ironisnya ketika pemilik dari demokrasi belum memperoleh makna dan konsep sesungguhnya tentang demokrasi, terlebih sangat disayangkan ketika para elit politik melakukan “manipulasi otak” untuk memperngaruhi masyarakat demi kepentingan pribadinya. Kurangnya pendidikan politik dan pemahaman tentang demokrasi menyebabkan masyarakat mudah menjadi korban intervensi oleh oknum-oknum tertentu.
Belum maksimalnya fungsi partai politik baik lokal maupun nasional yang ada di Aceh dalam hal memberikan pendidikan politik kepada masyarakat  menjadikan suatu dinamika tersendiri dalam proses Pilkada. Artinya partai politik bukan tidak memberikan pendidikan politik tetapi pendidikan politik yang diberikan cenderung dimanipulasi dengan paradigma-paradigma untuk mempengaruhi masyarakat, sehingga pendidikan politik yang diberikan lebih bersifat “etnosentrisme politik” dalam artian partai politik yang memberikan pendidikan tersebut adalah yang paling benar dan baik sehingga partai politik lain di nilai salah ketika mereka melakukan suatu hal yang berbeda dengan partai politik tersebut.
Sangat ironis ketika mahasiswa sebagai kaum intelektual yang menjadi harapan dan kepercayaan masyarakat ikut kedalam politik praktis yang seharusnya berada dalam politik ideologis untuk memberikan pendidikan politik yang sebenarnya dan memberikan pemahaman dalam melaksanakan demokrasi serta menjelaskan kepada masyarkat kriteria-kriteria pemimpin yang baik untuk dipilih bukan memberikan salah satu nama calon kepada masyarakat untuk dipilih. Hal ini akan menjadi penyebab ketidakpercayaan masyarakat kepada mahasiswa ketika calon yang diberikan mahasiswa dan dipilih masyarakat tidak mampu menjalankan amanah dengan baik. Maka sebagai kaum intelektual masyarakat sebaiknya tidak berpolitik praktis yang pada dasarnya hanya untuk kepentingan orang lain.
Dinamika-dinamika ini menjadi satu hal yang harus diperbaiki oleh partai politik dan pemerintah sebelum menuntut partispasi publik dalam menyukseskan Pilkada, sehingga dalam pelaksanaan demokrasi nantinya masyarakat saling menghargai setiap pilihan yang diambil, hal ini dapat mewujudkan Pilkada yang damai dan demokratis.
Partispasi publik adalah hal utama dalam menyongsong Pilkada sukses, artinya keudalatan demokrasi yang ada pada tangan rakyat harus digunakan dengan sebaiknya oleh rakyat itu sendiri, partispasi yang dilatarbelakangi oleh intervensi menjadi dinamika dalam masyarakat yang menyebabkan pesimisme masyarakat terhadap pemerintah.
Paradiqma Pilkada sukses harus mulai dirubah, artinya Pilkada sukses jangan hanya dinilai pada saat pemilihan suara dengan banyaknya masyarakat hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memilih dan berlangsung secara damai dan demokratis tetapi harus juga dinilai dari hasil Pilkada itu sendiri dalam artian kemampuan calon terpilih dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan mampu mewujudkan pembangunan kearah yang lebih baik.
Hal ini pasti akan terwujud dengan adanya partispasi masyarakat untuk menyukseskan Pilkada secara demokratis, dinamika partispasi masyarakat sangat membutuhkan pendidikan politik dalam arti yang sebenarnya dan pemahaman demokrasi untuk menciptakan iklim kedewasaan demokrasi dalam lingkungan masyarakat sehingga tidak ada oknum yang dapat mengusik jalannya Pilkada. Mengembalikan demokrasi kepada masyarakat dengan pendidikan akan menjadikan masyarakat pemilik dan penguasa demokrasi yang seutuhnya, sehingga masyarakat tidak terjebak kedalam permainan kepentingan elit politik. Hal ini harus menjadi tanggung jawab bersama yang dilakukan oleh setiap elemen seperti perguruan tinggi dalam melaksanakan  tri dharma perguruan tinggi, mahasiswa sebagai kaum intelektual masyarakat, serta pemerintah dan partai politik.
Ketika partispasi masyarakat yang diikuti dengan pendidikan politik yang baik dan memahami makna berdemokrasi dengan seutuhnya maka hal ini akan menjadi instrumen penting dalam harmonisasi pelaksanaan Pilkada yang sukses, damai, dan demokrtastis. Dan dapat mewujudkan tujuan akhir dari Pilkada yaitu melaksanakan pembangunan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat.


Tuesday, March 6, 2012

Proses Pembuatan Undang-Undang

DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.

DPD dapat mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Apabila ada 2 (dua) RUU yang diajukan mengenai hal yang sama dalam satu Masa Sidang yang dibicarakan adalah RUU dari DPR, sedangkan RUU yang disampaikan oleh presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

RUU yang sudah disetujui bersama antara DPR dengan Presiden, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Apabila setelah 15 (lima belas) hari kerja, RUU yang sudah disampaikan kepada Presiden belum disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan DPR mengirim surat kepada presiden untuk meminta penjelasan. Apabila RUU yang sudah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

PROSES PEMBAHASAN RUU DARI PEMERINTAH DI DPR RI

RUU beserta penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademis yang berasal dari Presiden disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan Surat Pengantar Presiden yang menyebut juga Menteri yang mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut.

Dalam Rapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh Pimpinan DPR, kemudian Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. Terhadap RUU yang terkait dengan DPD disampaikan kepada Pimpinan DPD.

Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR bersama dengan Menteri yang mewakili Presiden.

PROSES PEMBAHASAN RUU DARI DPD DI DPR RI

RUU beserta penjelasan/keterangan, dan atau naskah akademis yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR, kemudian dalamRapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh DPR, Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. Selanjutnya Pimpinan DPR menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan DPD mengenai tanggal pengumuman RUU yang berasal dari DPD tersebut kepada Anggota dalam Rapat Paripurna.

Bamus selanjutnya menunjuk Komisi atau Baleg untuk membahas RUU tersebut, dan mengagendakan pembahasannya. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, Komisi atau Badan Legislasi mengundang anggota alat kelengkapan DPD sebanyak banyaknya 1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota alat kelengkapan DPR, untuk membahas RUU Hasil pembahasannya dilaporkan dalam Rapat Paripurna.

RUU yang telah dibahas kemudian disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR dan kepada Pimpinan DPD untuk ikut membahas RUU tersebut.
 
Dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya surat tentang penyampaian RUU dari DPR,Presiden menunjuk Menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan RUU bersama DPR. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR. 

Bacaan  Terkait :
Teknik Per-UU-an dan Perda


Teknik Perundang-Undangan dan Perda

Fungsi pembentukan perundang-undangan itu semakin terasa diperlukan karena didalam negara yang berdasarkan atas hukum modern (Verzogingsstaat)  tujuan utama pembentukan peraturan perundang-undangan bukan lagi untuk menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang mengendap di dalam masyarakat, melainkan menciptakan MODIFIKASI atau perubahan dalam kehidupan masyarakat (T. Koopmans ”Derol van de wetgever”, dalam Hondered Jaar rechsleven, Zwole, Tjeenk Willink 1972)., dengan adanya MODIFIKASI diharapkan suatu undang undang tidak lagi berada dibelakang dan kadang-kadang terasa ketertinggalan, tetapi dapat berada didepan dan tetap berlaku sesuai dengan perkembangan masyarakat.
I.C. Van Der Vlies menyatakan Undang Undang modifikasi adalah Undang undang yang memiliki tujuan mengubah pendapat hukum yang berlaku dan peraturan Perundang-undangan yang mengubah hubungan-hubungan sosial.

Ilmu perundang-undangan merupakan terjemahan dari Gesetzebungswissenschaft adalah suatu cabang ilmu baru yang mula-mula berkembang di Eropa Barat, terutama di Negara-negara yang berbahasa Jerman.
Tokoh-tokoh yang mencetuskan bidang ilmu ini adalah : Peter Noll (1973) Jurgen Rodig (1975) Burkhardt Krems (1979) dan Werner Maihofer (1981) di Belanda S.O. Van Poelje (1980) W.G. van der Velden (1988).
Burkhardt Krems menyatakan bahwa ilmu perundang-undangan merupakan ilmu yang interdisipliner., secara garis besar dibagi dalam dua bagian besar :
  1. Teori Perundang-undangan (gesetzgebungstheorie), yang berorientasi pada mencari kejelasan dan kejernian makna atau pengertian-pengertian dan bersifat kognitif;
  2. Ilmu Perundang-undangan (Gesetzgebungslehre) yang berorentasi pada melakukan perbuatan dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan dan bersifat normatif.
Burkhardt Krems membagi lagi dalam tiga bagian yaitu :
  1. Proses Perundang-undangan (Gesetzgebungsverfahren)
  2. Metode Perundang-undaangan (Gesetzgebungsmethode)
  3. Teknik Perundang-undangan (Gesetzgebungstechnik)

Peristilahan ilmu perundang-undangan (Legislation, Wetgeving atau Gesetzgebung) mempunyai dua pengertian yang berbeda yaitu :
  1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk paraturan-peraturan negara, baik ditingakt pusat maupun tingkat daerah.
  2. Perundang-undangan adalah segala pearturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-paraturan, baik dingkat pusat maupun ditingkat daerah.

Pembentukan Peraturan perundang-undangan adallah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasrnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan (Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 UU no 10 Tahun 2004.)

NORMA/KAIDAH HUKUM
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya.
istilah norma berasal dari bahasa latin atau kaidah dalam bahasa arab atau pedoman, patokan atau aturan dalam bahasa Indonesia. dalam perkembangan dewasa ini norma itu diartikan  sebagai suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat, jadi norma adalah suatu aturan yang harus dipatuhi.
Norma berfungsi untuk mengatur berbagai kepentingan didalam masyarakat,  norma itu baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang karena norma itu pada dasarnya mengatur tata cara bertingkah laku seseorang terhadap orang lain atau terhadap lingkungannya .
setiap norma mengandung suruhan-suruhan yang dalam bahasa asingnya disebut Das sollen (ought to be/ought to do) yang dalam bahasa Indonesia dirumuskan dengan istilah hendaknya.

Norma hukum dapat dibentuk baik secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya, sedangkan norma adat,agama,moral dan lainya terjadi secara tak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada didalam masyarakat.

BERBAGAI NORMA DALAM MASYARAKAT
Dalam kehidupan masyarakat, selalu terdapat berbagai macam norma yang secara langsung maupun tidak mengatur dan mempengaruhi tatacara kita berprilaku atau bertindak., norma hukum negaara bersifat mutlak, dalam arti setiap norma hukum berlaku bagi seluruh masyarakat yang berada diwilahyah NKRI, sedangkan norma-norma adat,agama,moral memiliki perbedaan, dapat kita lihat norma hukum adat, norma adat berlaku sesuai dengan yang berlaku dalam masyarakat adatnya. misalnya dalam hal kewarisan, didaerah tapanuli dianut sistem garis keturunan bapak (patriniel) minangkabau garis keturuna Ibu (Matrilinial) di jawa garis keturunan bapak/ibu (Parental), dll. sedangkan dalam norma hukum negara menentukan setiap warga negara wajib membayar pajak maka norma itu berlaku bagi seluruh warga negara dimana pun dia berada dsb.

STATIKA DAN DINAMIKA SISTEM NORMA
Hans Kalsen dalam bukunya berjudul General Theory Of Law anf State, mengemukakan adanya dua sistem norma yaitu norma yang statik (nomostatics) dan sistem norma yang dinamik (nomodynamics)
Statika Sistem Norma (Nomostatics) adalah suatu sistem yang melihat pada ”isi”  suatu norma, dimana suatu norma umum dapat ditarik menjadi norma norma khusus, atau norma-norma khusus itu ditarik dari suatu norma yang umum. Penarikan norma khusus dari suatu dari norma umum, dalam arti norma umum itu dirinci menjadi norma-norma yang khusus dari segi ”isinya” contoh :
-      Dari suatu norma umum yang menyatakan ” hendaknya engkau menghormati orang tua” dapat ditarik norma khusus seperti kita wajib membantu orang jika sedang sakit, susah dan sebagainya.
-  Norma umum yang menyatakan ” hendaknya engkau menjalankan perintah agama” khususnya menjalankan sholat lima waktu, zakat, puasa dan sebagainya.

Sistem Norma Yang Dinamik (Nomodynamics) adalah suatu sistem norma yang melihat pada berlakunya suatu norma atau dari cara pembentukaanya dan penghapusannya.

HUKUM SEBAGAI SISTEM NORMA YANG DINAMIK
Hans Kalsen menyatakan hukum termasuk dalam sistem norma ayang dinamik (nomodynamics) karena hukum itu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenanang membentuknya, sehingga kita tidak melihat lagi dari segi isi norma tersebut tetapi dari segi berlakunya atau pembentukanya.
hukum itu sah/Valid apabila dibuat oleh lembaga yang berwenang membentuk nya dan berdasarkan norma yang lebih tinggi sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah / Inferior dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi / superior dan hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hirarkhi.

DINAMIKA NORMA HUKUM VERTIKAL DAN HORIZONTAL
Dinamika norma hukum yang vertikal adalah dinamika yang berjenjang dari atas kebawah, atau dari bawah keatas. (Hirarchi Perundang-undangan).
Dinamika horizontal suatu norma hukum itu bergerak tidak keatas atau kebawah, tetapi kesamping, dinamika norma hukum yang horizontal tidak membentuk suatu norma hukum yang baru, tetapi bergerak kesamping karena adanya analogi, yaitu penarikan suatu norma hukum untuk kejadian-kejadian lainnya yang diangap serupa.
contoh; Pencurian adalah apabila seseorang mengambil barang orang lain untuk dipakai atau dimiliki dengan cara melawan hukum., pengertian barang dalam ketentuan tersebut bukan saja benda yang dapat diambil tetapi juga mencakup aliran listrik sehingga mereka yang mengambil aliran listrik untuk dipakai dengan melawan hukum juga merupakan pencurian.
Perkosaan : seorang hakim telah mengadahkan suatu penarikan secara analogi dari ketentuan tentang perusakan barang sehingga terhadap suatu perkosaan, selain dikenai sanksi pidana dapat juga diberikan sanksi pembayaran ganti rugi.

PERBEDAAN NORMA HUKUM DAN NORMA-NORMA LAINNYA
Persamaan antara norma hukum dan norma yang lainnya adalah bahwa norma-norma itu merupakan pedoman bagaimana kita harus bertindak/bertingkah laku.
perbedaannya :
  1. Suatu norma hukum bersifat heteronom, dalam arti bahwa norma hukum itu datangnya dari luar diri kita sendiri. contoh dalam hal membayar pajak, kewajiban itu datangnya bukan dari diri kita sendiri tetapi dari negara sehingga kita harus memenuhi kewajiban tersebut senang atau tidak senang. norma-norma lainnya bersifat otonom dalam arti norma itu datang dari dalam diri kita sendiri, menghormati orang tua, puasa, sholat semua datang dari diri sendiri untuk menjalakannya.
  2. Suatu norma hukum itu dapat dilekati dengan sanksi pidana ataupun sanksi pemaksa secara fisik.
  3. Dalam Norma hukum sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu dilakanakan oleh aparat negara sedangkan terhadap terhadap pelanggaran norma-norma lainnya sanksi itu datang dari diri sendiri, misalnya adanya perasaan bersalah, perasaan berdosa, atau pelanggaran norma-norma moral atau norma adat tertentu, para pelanggarnya akan dikucilkan oleh masayarakat.

NORMA HUKUM UMUM DAN NORMA HUKUM INDIVIDUAL
Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk orang banyak (addressatnya umum) dan tidak tertentu., umum berarti seutu peraturan itu ditujukan untuk semua orang, semua warga negara RI. norma hukum umum dirumuskan dengan “barangsiapa....atau Setiap Orang.....ataupun Setiap Warga Negara....dan sebagainya sesuai addresst yang dituju., jadi norma hukum umum ditujukan kepada seluruh warga negara.

Norma hukum Individual adalah norma hukum yang ditujukan atau dialamatkan pada seseorang, beberapa orang atau banyak orang yang telah tertentu sehingga norma hukum yang individual ini biasanya dirumuskan dengan kalimat :
-      Iskandar bin Saiful yang bertempat tinggal di JL. Flamboyan No 10 Jakarta;
-    Para Pengemudi BIS kota Lhokseumawe jurusan Blok M – Cempaka yang beroperasi anatara jam 07.00 samapai dengan 08.00 WIB pagi pada tanggal 1 Oktober 1991

NORMA HUKUM ABSTRAK DAN NORMA HUKUM KONKRET
Norma hukum Abstrak adalah suatu norma hukum yang melihat pada perbuatan seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti tidak konkret., merumuskan suatu perbuatan secara abstrak, misalnya disebutkan dengan kata mencuri, membunuh, menebang pohon dsb.
Norma Hukum Konkret adalah suatu norma hukum yang melihat perbuatan seseorang itu secara lebih nyata (konkret), dapat dirumuskan sebagai berikut :
-      muncuri mobil merek honda berwarna hitam yang diparkir didepan kampus Unimal
-      membunuh si hasballah dengan sebuah golok
-      menebang pohon kelapa di pinggirjalan darussalam dsb.
Jadi, dari sifat norma hukum umum-individual-dan norma hukum abstrak-konkret kita mendapatkan empat kombinasi dari paduan norma-norma tersebut:
  1. Norma hukum umum-abstrak
  2. Norma hukum Umum-konkret
  3. Norma hukum Individual-abstrak
  4. Norma hukum Individual –Konkret


ad.1. Umum-Abstrak
Norma hukum yang ditujukan (addressatnya) umum dan perbuatan masih bersifat abstark (belum konkrit), dapat dirumuskan sbb,
-      setipa warga negara dilarang mencuri
-      setipa orang dilarang membunuh sesemanya

ad.2. Umum-Konkret
Norma hukum yang ditujukan (addressnya) umum dan perbuatanya sudah tertentu (konkret), dirumuskan sebagai berikut :
-   barang siapa yang mencuri mobil bermerek honda berwarna hitam yang diparkir didepan kampus unimal.......
-      Setipa orang dilarang membunuh sih hasba dengan sebuah parang dll.



ad.3. Individual-Abstrak
Norma hukum yang ditujukan (addresnya) untuk seseorang atau orang-ornag tertentu dan perbuatannya masih abstrak (belum konkret), dirumuskan sbb,
-     Si Ramlah yang bertempat tinggal dijalan darussalam no 54 Lhokseumawe dilarang mencuri
-     Si Poma bin Polim Penduduk dari kampung rambutan pinggir kali Rt 08 Rw 07 dilarang mencuri; dsb.

ad.4. Individual-Konkret
Norma hukum yang ditujukan (addressnya) ditujukan pada seseorang/orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat konkret. dirumuskan sbb,
- Saudara Yana din Binti Slametdin yang bertempat tinggal di jalan Kambing Nomor 15 Medan diberi izin membangun rumah diatas tanagh yang terletak di samping tempat tinggalnya, yaitu jalan kambing Nomor 16 Medan yang merupakan miliknya.

NORMA HUKUM YANG EINMAHLIG DAN NORMA HUKUM YANG DAUERHAFTIG
Daya Berlakunya sebuah norma hukum dapat dilihat dari norma hukum yang berlaku sekali-sekali (einmahlig) dan norma hukum yang berlaku secara terus menerus (dauerhaftig).
Norma hukum yang berlaku sekali-sekali (einmahlig) adalah norma hukum yang hanya berlaku satu kali saja dan setelah itu selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja, sehingga dengan adanya penetapan itu norma hukum tersebut selesai.  misalnya penetapan seseorang ingin membangun rumah,keputusan mengenai penetapan seseorang sebagai PNS atau diberhentikan, dsb.
Norma hukum yang berlaku secara terus menerus (dauerhaftig) adalah norma hukum yang berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, jadi dapat berlaku kapan saja secara terus menerus , sampai peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan baru. norma hukum ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan, misalnya ketentuan mengenai mengatur tentang lingkungan hidup dsb.

Norma hukum yang termasuk dalam suatu peraturan perundang-undangan adalah suatu norma hukum yang bersifat umum-abstrak dan berlaku secara terus menerus., dapat menjadi objek Yudicial Review’ sedangkan norma hukum yang bersifat individual-konkret dan sekali selesai merupakan suatu keputusan yang bersifat Penetapan (beschikking) dapat menjadi objek peradilan Tata Usaha Negara., disamping norma hukum yang termasuk dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur  (Regeling), yaitu umum-abstrak-dan berlaku secara terus menerus dan norma hukum yang bersifat menetapkan (Beschikking)yaitu Individual-konkret dan berlaku sekali selesai.

VALIDITY DAN EFFICACY
Norma dapat berlaku karena ia mempunyai daya laku atau karena ia mempunyai keabsahan (Validity/Geltung) dimana berlakunya bila norma itu dibentik oleh norma yang lebih tinggi atau lembaga yang berwenang membentuknya, misalnya UU adalah sah apabila dibentuk oleh DPR dan dibahas secara bersama-sama (Eksekutif dan Legislatif) untuk memdapatkan persetujuan bersama, berdasrkan suatu norma yang terdapat dalam UUD 1945 atau suatu peraturan Pemerintah yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan Delegasi dari UU.
selain itu juga dihadapkan pula dengan daya guna / bekerjanya (Efficacy) dari norma tersebut, dalam hal norma tersebut yang berlaku itu bekerja/berdaya guna secara efektif atau tidak  atau dengan kata lain norma itu ditaati atau tidak.

HIERARKI NORMA HUKUM (STUFENTHEORIE KALSEN)
Hans Kalsen menyatakan norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hirrarkis, dimana norma yang dibawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasr pada norma yang lebih tinggi lagi,  demikian seterusnya sampai akhirnya ”Regresus” ini berhenti pada norma yang tertinggi yang disebut norma dasar (Grundnorm) yang tidak dapat kita telusuri lagi siapa pembentuknya atau dari mana asalnya.
Norma dasar (Grundnorm, basic norm, atau fundamental norm, atau fundamental norm)merupakan norma yang tertinggi yang berlakunya tidak berdasar dan tidak bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi tetapi berlakunya secara Presupposed yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat.
Teori Jenjang norma hukum dari hans kalsen diilhami oleh seorang muridnya bernama adolf Merkla yang menyatakan suatu norma hukum memilki dua wajah  (Das Doppelte Rechtsantlitz) suatu norma hukum memilki batas berlaku/masa berlaku (Rechtskracht) yang relatif karena masa berlaku nya suatu  norma hukumitu tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya sehingga apabila norma hukum yang berada diatasnya di cabut atau dihapus , maka NORMA-NORMA HUKUM YANG BERADA DIBAWAHNYA TERCABUT/TERHAPUS PULA.
Berdasarkan teori Adolf Merkl dalam teori jenjang normanya Hens kalsen juga mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu berdasar dan bersumber pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah kebawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah dari padanya.

STRUKTUR NORMA DAN STRUKTUR LEMBAGA
Benyamin Akzin dalam buku nya Law, State and International Legal Order, mengemukakan bahwa pembentukan norma-norma hukum pubik itu berbeda dengan pembentukan  norma-norma hukum privat karena apabila kita melihat pada struktur norma (Norm Strukture) Maka hukum publik itu berada diatas hukum privat, dan apabila kita meliaht dari strutur lembaga (Institutional Struture) maka Public Authorities terletak diatas Population.
dalam hal pembentukan hukum publik dibentuk oleh lembaga-lembaga negara atau disebut Suprastrutur lembaga-lembaga ini mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada norma-norma hukum yang di bentuk oleh masyarakat atau disebut juga infrastruktur.

TATA SUSUNAN NORMA HUKUM NEGARA
Hans Nawiasky, seorang muriD dari Hans Kalsen, mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang. Nawiasky dalam bukunya Allgemeine Rechtslehre mengemukakan bahwa selain norma berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang norma hukum dari suatu negara itu berkelompok-kelompok. Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas :
Kelompok I                 : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
Kelompok II               : Staatsgrungesetz       (Aturan dasar/Pokok negara)
Kelompok III              : Formell Gesetz (Undang-undang Formal)
Kelompok IV              : Verordnung Dan Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dana aturan
  Otonom)

kelompok-kelompok norma hukum tersebut hampir selalu ada dalam tata susunan norma hukum setiap negara walupun mempunyai istilah  yang berbeda-beda ataupun jumlah norma hukum yang berbeda dalam setiap kelompok.



Persamaan teori jenjang norma (Stufentheorie) dari Hans Kalsen dan Teori Jenjang Norma hukum dari Hans Nawiasky adalah bahwa kedua menyebutkan norma itu berjenjang-jenjang, dan berlapis-lapis suatu norma itu berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang diatasnya, norma yang diatasnya berlaku, bersumber dan berdasr pada norma yang  yang diatasnya lagi, demikian seterusnya samapi pada  norma yang tertinggi.
Perbedaannya Kelsen tidak mengelompokkan norma-norma itu dan membahas jenjang norma secara umum (general) dalam arti berlaku untuk semua jenjang norma (termasuk norma hukum negara), sedangkan Nawiasky membagi norma-norma itu dalam empat kelompok yang berlainan dan membahas teori jenjang norma itu secara khusus, yaitu dihubungkan dalam suatu negara..  

HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN RI

  1. KETETAPAN MPRS NO/XX/MPRS/1966
  2. KETETAPAN MPR NO/III/MPR/2000
  3. UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN



KETETAPAN MPRS NO/XX/MPRS/1966

KETETAPAN MPR NO/III/MPR/2000

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004
1.      UUD RI 1945
1.  UUD RI 1945
1. UUD RI TH 1945
2.      TAP MPR
2.  TAP MPR RI
2. UU/PERPU
3.      UU/PERPU
3.   UU
3. PERATURAN PEMERINTAH
4.      PERATURAN PEMERINTAH
4.   PERPU
4. PERATURAN PRESIDEN
5.      KEPUTUSAN PRESIDEN
5.  PERATURAN PEMERINTAH
5. PERATURAN DAERAH
  1. PERDA PROVINSI DIBUAT DPRD PROVINSI DAN GEBERNUR
  2. PERDA KAB/KOTA DIBUAT OLEH DPRD KAB/KOTA DAN BUPATI/WALIKOTA
  3. PERATURAN DESA/PEARTURAN SETINGKAT DIBUAT OLEH BPD ATAU NAMALAINNYA BERSAMA DENGAN KEPALA DESAN ATAU NAMALAINNYA.
6.      PERATURAN PELAKSANA LAINNYA, SEPERTI, PERATURAN MENTERI, INSTRUKSI MENTERI DAN LAIN-LAINNYA
6.  KEPUTUSAN PRESIDEN
-
-
7.  PERATURAN DAERAH
-


AJARAN TENTANG TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGANDUNG BEBERAPA PRINSIP :
  1. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau berada dibawahnya.
  2. peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memilki dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
  3. Isi atau mutan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya;
  4. Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak sederajat;
  5. Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama, peraturan yang terbaru harus diberlakukan walupun tidak dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama itu dicabut., selain itu peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus diutamakan dari paraturan perundang-undangan yang lebih khusus.

Konsekuensi dari prinsip-prinsip tersebut adalah harus diadakannya mekanisme yang menjaga dan menjamin agar prinsip tersebut tidak dikesampingkan atau dilanggar, mekanismenya yaitu adanay sistem pengujian secara yudisial atas setiap pearturan perundang-undangan, kebijakan, maupun tindakan pemerintahan lainnya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau tingkat tertinggi yaitu UUD. tanpa konsekuensi tersebut , tata urutan tidak akan berarti , hal ini dapat menyebabkan peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih rendah dapat tetap berlaku walupun bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.


BAHAN DIATAS  DIKUTIP DARI BUKU :
1.     Maria Farida Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan., Penerbit Kanisus cetakan ke 11 .,2006;
2.    Ni’Matul Huda., Hukum Tata Negara Indonesia., Penerbit Raja Grafindo., 2005;
3.    Rahimullah., Hubungan Antar Lembaga Negara., Penerbit FH Universitas Satyagama., 2007;
4.    Undang Undang Dasar 1945
5.    Undang undang RI Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


Bacaan Terkait :
Proses Pembuatan UU