Oleh : DR. MUKLIR, S.SOS.,SH.,M.AP
Implementasi Kebijakan Pada Prinsipnya:
Cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuan.
Untuk mengiplementasikan kebijakan ada dua pilihan langkah:
1. Langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program.
2. Melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.
Kebijakan publik dalam bentuk Undang –Undang atau Pancasila adalah jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan (PP)
Pengelolaan Implementasi Kebijakan
Pertimbangan Kemungkinan
Kebijakan/Program dapat disebut gagal karena keduanya memang tidak dapat dilaksanakan sesuai rencana.
Kebijakan/Program dapat dilaksanakan sesuai rencana, tetapi tidak mampu mencapai hasil yang diharapkan.
Implementasi Kebijakan
REGULATIF
Kebijakan yang dirancang untuk menjamin terwujudnya penaatan terhadap serangkaian ketentuan, aturan ataupun prosedur tertentu yang diwajibkan kepada objek dan subjet kebijakan.
ALOKATIF
Kebijakan yang menetapkan kebutuhan masukan/input berupa dana, waktu, personil maupun perlengkapan ( termasuk tehnologi, mesin, sarana dan prasarana.
Analisis implementasi menkaji beberapa faktor yang menghambat atau mempelancar pelaksanaan kebijakan:
- Siapa dan berapa banyak unsur pelaksana kebijakan
- Bagaimana setting pelaksanaannya
- Apakah ada standar operasional yang baku.
- Bagaimana tingkat konsensus pelaksanaan kebijakan yang disepakati.
- Bagaimana tingkat dampak yang diharapkan
- Tehnik apa yang dapat digunakan untuk peleksanaan kebijakan ini.
- Apakah sumber-sumber yang dibutuhkan untuk pelaksanaan telah tersedia.
Fungsi Pemantauan Implementasi Kebijakan
Compliance (penaatan): memonitor apakah tindakan pelaksana kebijakan dan stakeholders memenuhi standar dan prosedur yang telah ditetapkan.
Auditing(pemeriksaan): memeriksa apakah sumber-sumber dan program yang ditujukan bagi target group dan benefeciaries telah benar-benar atau diterima yang bersangkutan.
Explanation (penjelasan): memperoleh informasi untuk menjelaskan tingkat kinerja kebijakan.
Upaya – Upaya Mencegah Kegagalan Implementasi Kebijakan
- Kebijakan tidak bersifat Ambiqua
- Prosedur administrasi jelas dan dikomunikasikan secara konsisten
- SDM terlatih dan well informended tersedia untuk melaksanakan kebijakan
- SDM memperoleh delegasi wewenang
- SDM memperoleh insentif dan motivasi
- Melaksanakan pemantauan dan evaluasi
Mengapa Implementasi kebijakan perlu dipelajari ?
Aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan.
Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.(Udoji,1981,hal.32)
Model-Model Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakn yang berpola “dari atas kebawah “ (top-bottomer) versus dari” bawah keatas “ (bottom topper),
Implementasi yang berpola paksa (command-and-conntrol) dan mekanisme pasar (economic incentive).
Kebijakan Publik Yang Bisa Langsung Operasioanal :
- Keppres,
- Inpres,
- Kepmen,
- Keputusan Kepala Daerah,
- Keputusan kepala dinas,
- Dan lain-lain
Model Mekanisme Paksa
Model yang mengedepankan arti penting lembaga tunggal yang mempunyai monopoli atas mekanisme paksa didalam negara dimana tidak ada mekanisme insentif bagi yang menjalani, namun ada sanksi bagi yang menolak melaksanakan atau melanggarnya.
Model Mekanisme Pasar
Model yang mengedepankan mekanisme insentif bagi yang menjalani, dan bagi yang tidak menjalankan tidak mendapatkan sanksi, namun tidak mendapatkan insentif. Ada sanksi bagi yang menolak melaksanakan atau melanggarnya
4 Variabel Yang Mempengaruhi Kebijakn Publik
- Aktivitas implementasi dan komunikasi antarorganisasi.
- Karakteristik dari agen pelaksana/ implementor,
- Kondisi ekonomi, sosial dan politik, dan
- Kecenderungan (disposition) dari pelaksana/ implementor.
3 Hambatan Dalam Implementasi Kebijakan
Pertama, variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis palaksanaan, keragaman obyek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.
Kedua, variabel intervening: yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsitensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarkis diantara lembaga palaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar; dan variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen & kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
Ketiga, variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/ badan pelaksan dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kebutuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
Syarat Implementasi Kebijakan Brian W. Hoogwood dan lewis A. gun (1978)
Syarat pertama berkenaan dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/badan tidak akan menimbulkan masalah yang besar.
Syarat kedua adalah apakah untuk melaksanakannya tersedia sumberdaya yang memadai, termasuk sumberdaya waktu. Gagasan sangat bijaksana karena berkenaan dengan fabisilitas dari implementasi kebijakan
Syarat ketiga apakah perpaduan sumber –sumber yang diperlukan benar-benar ada. Kebijkan publik adalah kebijakan yang komplek dan menyangkut impak yang luas. Karen aitu, Implementasi kebijakan publik akan melibatkan berbagai–bagai sumber yang diperlukan, baik dalam konteks sumber daya atau sumber aktor.
Syarat keempat adalah apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kausal yang andal. Jadi, prinsipnya adalah apakah kebijakan tersebut memang dapat menyelesaikan masalah yang hendak ditanggulangi. Dalam metodologi dapat disederhanakan menjadi “apakah jika X dilakukan akan terjadi Y”.
Syarat kelima adalah seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi. Asumsinnya, semakin sedikit hubungan “sebab akibat”,semakin tinggi pula hasil yang dikehendaki oleh kebijakan tersebut dapat dicapai. Sebuah kebijkan yang mempunyai hubungan kausalitas yang kompleks, otomatis menurunkan efektivitas implementasi kebijakan .
Syarat keenam adalah apakah hubungan saling ketergantungan kecil. Asumsinya adalah jika hubungan saling ketergantungan tinggi, justru implementasi tidak akan dapat berjalan secara efektif apa lagi jika hubungannya adalah hubungan ketergantungan. Implementasi kebijakan pengaruh utamaan gender banyak menemui kendala karena Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan tergantung dalam intensitas yang tinggi kepada seluruh departemen dan LPND serta kepada daerah-daerah.
Syarat ketujuh adalah pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Tidaklah begitu sulit dipahami, bahwa mereka yang ada dalam perahu yang sama sepakat akan tujuan yang sama . sebuah perahu dengan penumpang dengan tujuan yang berbeda-beda dan tidak ada yang mampu memimpin, adalah sebuah perahu yang tidak pernah beranjakk dari tempatnya berada. Jika Kepala Daerah dan DPRD tidak pernah bersepakat bahkan saling menjatuhkan untuk menyusun satu kebaikan publik untuk membawa kemajuan bagi rakyat daerah, yang terjadi adalah kemerosotan pembangunan dikawasan tersebut.
Syarat kedelapan adalah bahwa tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar. Tugas yang jelas dan prioritas yang jelas adalah kunci efektivitas implementassi kebijakan.
Syarat kesembilan adalah komunikasi dan koordinasi yang sempurna. Komunikasi adalah organisasi, dan koordinasi adalah asal muasal dari kerjasama tim serta ter bentuknya sinergi. Syarat kesepuluh adalah bahwa pihak-pihak yang memiliki wewenang dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.Kekuasan atau power adalah syarat bagi kefektivan implementasi kebijakan. Tanpa otoritas yang berasal dari kekuasaan, maka kebijakan akan tetap berupa kebijakan tanpa ada impak bagi target kebijakan.
Memilih Model
Setelah mengetahui model-model implementasi kebijakan, masalah penting adalah model mana yang terbaik yang hendak dipakai? Jawabannya adalah tidak ada model yang terbaik. Setiap jenis kebijakan publik memerlukan model implementasi kebijakan yang berlainan. Ada kebijakan publik yang perlu diimplementasikan secara top-down seperti kebijakan anti-terorisme. Kebijakan – kebijakan yang bersifat top-downer adalah kebijakan yang bersifat sangat strategis dan berhubungan dengan keselamatan negara. Berbeda dengan kebijakan yang lebih efektif jika diimplementasikan secara Bottom-upper, yang biasanya berkenaan dengan hal-hal yang tidak secara langsung berkenaan dengan national security seperti kebijakan kontrasepsi (KB), padi varitas ungul, pengembangan ekonomi nelayan, dan sejenisnya.
Namun sebenarnya, pilihan yang paling efektif adalah jika kita bisa membuat kombinasi implementasi kebijakan publik yang partisivatif, artinya yang bersifat top-downer dan bottom-upper. Model seperti ini biasanya lebih dapat berjalan secara efektif, berkesinambungan, dan murah. Bahkan dapat pula dilaksanakan untuk hal-hal yang bersifat national security. Indonesia mempunyai kebijakan keamanan nasioanal yang disebut sebagai pertahanan rakyat semesta dimana konsep ini menghendaki implementasi pertahanan nasional melibatkan kerja sama antar militer dengan rakyat, dimana kedua komponen ini tidak saling berhubungan secara hierarkis, namun berhubungan secara kooperatif murni.
4 Tepat Penanggulangan Masalah Dalam Implementasi Kebijakan
Tepat pertama, adalah apakah kebijakannya sendiri sudah tepat. Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how excellent is the policy. Sisi kedua dari kebijakan adalah apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang hendak dipecahkan seperti yang kita bahas pada bab sebelumnya tentang perumusan kebijakan. Sisiketiga adalah, apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi kelembagaan ) yang sesuai dengan karakter kebijakannya.
Tepat kedua adalah “tepat pelaksananya”. Aktor implementasi kebijakan tindakan hanya pemerintah . Ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerja sama antara pemerintah- masyarakat/swasta , atau implementasi kebijakan yang diswastakan (privatization atrau contractig out). Kebijakan–kebijakan yang bersifat monopoli, seperti kartu identitas penduduk, atau mempunyai derajat politik keamanan yang tinggi, seperti pertahanan dan keamanan sebaiknya diselenggarakan pemerintah bersama dengan masyarakat, seperti bagaimana perusahaan harus dikelola, atau dimana pemerintah tidak efektif menyelenggarakannya sendiri, seperti pembangunan industri-industri berskala menengah dan kecil yang tidak strategis , sebaiknya diserahkan kepada masyarakat.
Tepat ketiga adalah “tepat target”. Ketepatan berkenaan dengan tiga hal. Pertama, apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan interrvensi lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain. Di Indonesia kebijakan untuk Income generating diwarnai dengan banyaknya kebijakan pemberian kredit bersubsidi oleh berbagai departemen yang akhirnya overlapping dan saling mematikan di lapangan. Kedua, apakah targetnya dalam kondisi siap untuk disintervensi, ataukah tidak. Kesiapan bukan saja dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik atau harmoni, dan apakah kondisi target dan kondisi mendukung atau menolak. Sosialisasi kebijakan pertanian dikawasan konflik tidaklah salah, namun tidak efektif karena prioritas utama adalah keselamatan nyawa. Pembangunan kawasan industri maju dikawasan terbelakang tanpa menyiapkan masyarakatnya menghasilkan penolakan yang laten seperti pada kasus–kasus di Papua (Irian Jaya). Ketiga, apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbaharui implementasi kebijakan sebelumnya. Terlalu banyak kebijakan yang tampaknya baru namun pada prinsipnya mengulang kebijakan lama dengan hasil yang sama tidak efektifnya dengan kebijakan sebelumnya.
Tepat keempat adalah “tepat lingkungan “. Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu lingkungan kebijakan, yaitu interaksi diantara lembaga perumusan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan dengan lembaga lain yang terkait. Donald J. Calista (1994) menyebutkan sebagai pariabel endogen, yaitu authoritativa arrangement yang berkenaan dengan kekuatan sumber otoritas dari berbagai organisasi yang terlibat dengan kebijakan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, dan implementation setting yang berkenaan dengan posisi tawar menawar antara otoritas yang mengeluakan kebijakan dengan jejaring yang berkenaaan dengan implementasi kebijakan. Lingkungan kedua adalah lingkungan eksternal kebijakan yang disebut oleh Calista sebagai variabel eksogen yang terdiri dari public opinion yaitu persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan, interfretive instution yang berkenaan dengan interfretasi dari lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat, seperti media massa, kelompok penekanan, dan kelompok kepentingan, dalam mengiterprestasikan kebijakan dan implementasi kebijakan, dan individual yakni individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting dalam menginterprestasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.
Ke empat “tepat “ tersebut masih perlu didukung oleh tiga jenis Dukungan
- Dukungan politik,
- Dukungan strategik, dan
- Dukungan teknis.
Bacaan Terkait :
Applied Science ( Evaluasi Kebijakan Publik )
Evaluasi Kebijakan Publik
Public Policy
Kebijakan Publik Menurut Para Ahli
Applied Science ( Evaluasi Kebijakan Publik )
Evaluasi Kebijakan Publik
Public Policy
Kebijakan Publik Menurut Para Ahli
No comments:
Post a Comment